Film, Semiotika Sosial dan Politik Representasi

Cultural Studies

Cultural Studies  meneropong kebudayaan sebagai segi yang tidak dapat dilepaskan dari ranah politik dan ekonomi.

Cultural Studies menggunakan metode yang lebih banyak digunakan dalam pendekatan kritis dan konstruksionis.

Pendekatan yang dipakai adalah  yang ditawarkan oleh Theo Van Leeuwen yang  bergerak menuju pendekatan yang digagas oleh Michael Alexander Kirkwood Halliday (M.A.K Halliday) – seorang linguist Australia – sebagai social semiotics (semiotika sosial)

Semiotik social  menyediakan perangkat yang dapat digunakan untuk melihat karya film dalam representasi dan kedalaman maknanya. Berbeda dengan semiotika yang hanya sekedar analisis pada level kebahasaan.

Semiotika social  tidak saja melihat tanda-tanda yang rigid dan padu pada dirinya. Semiotika social meletakkan tanda dalam kemungkinan maknanya yang dapat jadi bertingkat, ambigu, memiliki banyak referensi, dan menganggap konteks sosial sebagai ruang yang memiliki pengaruh pada level tekstual.

Penggunaan semiotika sosial Leeuwen, dipilih karena beberapa pertimbangan. Antara lain, semiotika sosial merupakan perbendaharaan ramuan Leeuwen dalam mengapresiasi karya-karya Roland Barthes, terutama pada tiga karya utamanya, yakni Mythology (1973); Image, Music, Text (1977); dan The Fashion Sistem (1983). Disamping itu, semiotika sosial menjadi relevan dengan asumsi-asumsi Cultural Studies dalam pilihan pendekatan, karena sifat analisisnya yang bertingkat, dan pula merupakan gabungan dari beberapa pendekatan yang dianggap Leeuwen penting untuk dilihat.

Oleh Leeuwen, social semiotics yang dikembangkannya, menekankan setidaknya empat dimensi utama, yakni discourse, genre, style, dan modality.

Discourse merupakan kunci untuk memelajari bagaimana sumber-sumber semantik digunakan untuk membangun representasi atau kehadiran.

Genre, berhubungan dengan penggunaan sumber-sumber semiotik untuk menetapkan interaksi komunikatif yang berhubungan dengan representasi, baik dalam percakapan ataupun unsur komunikasi lain yang memisahkan waktu dan jarak, semisal pada buku-buku dan film.

Style, bersangkutpaut dan berhubungan secara langsung dengan gaya hidup individu yang dipertontonkan dalam aktifitas komunikasi, yang secara tersirat ataupun tersurat, menyatakan identitas dan nilai-nilai yang dianutnya.

Sedangkan, modality – berhubungan dengan cara sesuatu dilakukan – memelajari penggunaan sumber-sumber semiotik untuk menciptakan dan mengkomunikasikan kebenaran atau nilai-nilai realitas dari representasi-representasi mereka, baik itu sebagai fakta atau fiksi, membuktikan kebenaran atau dugaan, dan sebagainya (Leeuwen, 2005 : 91).

Lebih jauh lagi, social semiotics lahir sebagai pendekatan yang melihat semiotikus tidak sekedar dalam perannya serupa pencinta tanda, yang menginventarisasi dan menganalisis apapun, dengan menempatkan sumber-sumber lahirnya tanda dalam kepadatan makna yang siap dianalisis.

Makna adalah sesuatu yang dihayati, berada dalam ruang internal manusia yang melakoni dan bergumul dengan tanda-tanda, hingga makna apapun yang dapat dianggap padu pada tanda bisa jadi palsu, berbeda dalam pemaknaan, dan dapat hadir dalam kemungkinan makna berbeda sejauh ia dapat ditemukan (Leeuwen, 2005 : 26).

Pemahaman pendekatan ini – sebagaimana yang seringkali hendak ditekankan oleh Leeuwen – menjadi pendekatan yang tidak pure semiotic pada dirinya. Semiotika sosial hadir dalam rupanya sebagai wilayah pengamatan terhadap artefak kebudayaan dalam jejaring maknanya. Ia menekankan artefak ini sebagai sumber-sumber semiotik, sesuatu yang darinya makna menyembul keluar, sesuatu yang hadir sebagai objek dalam hubungan lahirnya tanda.

Politik  Representasi

Konsep ‘representasi’ dalam studi media massa, termasuk film, bisa dilihat dari beberapa aspek bergantung sifat kajiannya. Studi media yang melihat bagaimana wacana berkembang di dalamnya —biasanya dapat ditemukan dalam studi wacana kritis pemberitaan media — memahami ‘representasi’ sebagai konsep yang “menunjuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan” (Eriyanto, 2001:113).

Menurut Eriyanto (2001:113), setidaknya terdapat dua hal penting berkaitan dengan representasi; pertama, bagaimana seseorang, kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan bila dikaitkan dengan realias yang ada; dalam arti apakah ditampilkan sesuai dengan fakta yang ada atau cenderung diburukkan sehingga menimbulkan kesan meminggirkan atau hanya menampilkan sisi buruk seseorang atau kelompok tertentu dalam pemberitaan. Kedua, bagaimana eksekusi penyajian objek tersebut dalam media. Eksekusi representasi objek tersebut bisa mewujud dalam pemilihan kata, kalimat, aksentuasi dan penguatan dengan foto atau imaji macam apa yang akan dipakai untuk menampilkan seseorang, kelompok atau suatu gagasan dalam pemberitaan.

Sementara itu, menurut John Fiske (1997:5) representasi merupakan sejumlah tindakan yang berhubungan dengan teknik kamera, pencahayaan, proses editing, musik dan suara tertentu yang mengolah simbol-simbol dan kode-kode konvensional ke dalam representasi dari realitas dan gagasan yang akan dinyatakannya.

Masih menurut Fiske, dalam sebuah praktek representasi asumsi yang berlaku adalah bahwa isi media tidak merupakan murni realitas karena itu representasi lebih tepat dipandang sebagai cara bagaimana mereka membentuk versi realitas dengan cara-cara tertentu bergantung pada posisi sosial dan kepentingannya. Pendapat Fiske mengenai representasi ini berlaku dalam sebuah proses kerja media secara umum dan sudah mulai menyinggung mengenai kaitan antara representasi dengan realitas bentukan yang diciptakan oleh suatu media.

Apa yang dikemukakan oleh Fiske di atas memiliki kesamaan dengan pendapat Fairclough (1995:104). Menurut Fairclough dalam sebuah analisis representasi terhadap isi media sebenarnya kita mencoba menentukan apa yang dicakupkan atau tidak, yang eksplisit atau pun implisit, yang menjadi foreground atau pun back ground, dan yang menjadi tematik atau pun tidak serta menentukan kategori mana yang merupakan representasi sebuah peristiwa, karakter, situasi atau pun keadaan tertentu.

Konsepsi Fairclough mengenai analisis representasi dalam isi media ini secara implisit juga menyinggung keterkaitan antara praktek representasi dengan realitas yang di re-presentasikan oleh media. Bedanya, dalam pendapat Fairclough mengisyaratkan bahwa suatu media bisa jadi memang secara sadar hendak mengedepankan suatu realitas bentukan tertentu dan karenanya menegaskan kembali betapa representasi memang tak sekedar menyajikan cermin relitas semata.

Selanjutnya, menurut Branston dan Stafford (1996:78) representasi bisa diartikan sebagai segenap tanda di dalam mana media menghadirkan kembali (re-present) sebuah peristiwa atau realitas. Namun demikian “realitas” yang tampak dalam citraan atau suara tersebut tidaklah semata-mata menghadirkan realitas sebagaimana adanya. Di dalamnya senantiasa akan ditemukan sebuah konstruksi (a construction), atau tak pernah ada ‘jendela’ realitas yang benar-benar transparan.

Branston dan Stafford berpendapat meskipun dalam praktek representasi diandaikan senantiasa terjadi konstruksi namun konsepsi ‘representasi’ tidak lalu  bisa diterjemahkan setara dengan ‘konstruksi’;  ‘representasi’ bahkan bergerak lebih jauh karena mendekati pertanyaan tentang bagaimana sebuah kelompok atau berbagai kemungkinan hal-hal yang ada di luar media telah direpresentasikan oleh produk suatu media.

Pertanyaan tentang “bagaimana” itu lalu membawa implikasi politis yang lebih luas sebagai berikut: Pertama, representasi mengingatkan kita pada politik representasi. Suatu media memberikan kita citraan tertentu, yaitu suatu cara menggambarkan sebuah kelompok tertentu sehingga kita seakan sampai pada pengertian tentang  bagaimana kelompok tersebut  mengalami dunianya, dan bagaimana kelompok tersebut bisa dipahami dan bahkan bagaimana mereka bisa diterima oleh kelompok lainnya. Kedua, dalam praktek representasi suatu media besar memiliki kekuasaan untuk menghadirkan kembali suatu kelompok tertentu, berulang-ulang, beberapa citraan tertentu, beberapa asumsi, dan kuasa untuk meniadakan kelompok yang lain, dan karenanya menjadikan kelompok  yang lain itu menjadi asing (Branston & Stafford, 1996:78).

Pendapat Branston dan Stafford mengenai representasi di atas bila dikaitkan dengan, misalnya,  representasi suatu identitas seseorang atau kelompok tertentu dalam suatu media tampaknya akan memiliki kemiripan dengan pendapat Stuart Hall. Menurut Hall (dalam Gillespie, 1995:11) dalam politik representasi: “It conceives of representation as not merely expressive but formative of identities; and it conceives of difference not as unbridgeable separation but as positional, conditional and conjunctural”.

Membandingkan konsepsi representasi menurut Hall dan Branston dan Stafford di atas bisa kita pahami bahwa keduanya sepakat representasi itu tidak sekedar proses penyajian kembali suatu objek di dalam sebuah media namun lebih dari itu media ternyata juga menjalankan proses pembentukan suatu identitas tertentu atau suatu positioning tertentu terhadap objek yang dicitrakan dalam suatu media.

Konsepsi atau peta teoritik mengenai representasi dalam sebuah media akan lebih lengkap  bila kita mencoba menukik lebih dalam mengenai ‘makna’ yang lalu dihadirkan melalui representasi. Menurut Sturken dan Cartwrigth, representasi  tidak hanya diyakini senantiasa melekat pada konstruksi tetapi juga pada proses pemaknaannya sebagaimana tercermin dalam penjelasan dalam bukunya Practice of Looking  bahwa “Representasi merujuk pada penggunaan bahasa dan imaji untuk menciptakan makna tentang dunia sekitar  kita.” (Sturken & Cartwrigth, 2001:66).

Dari beberapa konsep mengenai representasi di atas, mulai kelihatan bahwa media – representasi – konstruksi – realitas dan makna ternyata memiliki jalinan yang tak terpisahkan. Demikian bisa kita simak dari pendefinisian mengenai representasi sebagaimana dikemukakan oleh O’Sullivan, Dutton dan Rayner (1998:71) yang meski singkat namun bisa merangkumkan pemahaman tentang representasi : “ The concept of representation embodies the theme that the media construct meanings abaout the world – they represent it, and in doing so, help audiences to make sense of it.” ( Konsep representasi mencakup tema dasar media mengkonstruksikan makna dunia ini—media menampilkannya, dan sekaligus membantu audiens untuk memahaminya).

Referensi :

Branston, Gill & Roy Stafford. The Media Student’s Book. New York, N.Y.: Roudledge, 1996.

Eriyanto. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta : LkiS,  2001.

Fairclough, Norman. Media Discourse. London : Arnold, 1995.

Fiske, John. Television Culture. London: Rotledge, 1997.

Gillespie, Marie. Television, Ethnicity and Cultural Change. London &New Yok : Routledge, 1995.

Leeuwen, T. Speech, Music, Sound. London: Macmillan, 1999.

________. Introducing Social Semiotics. New York: Routledge, 2005.

________. Discourse And Practice. New York: Oxford University Press, 2008.

O’Sullivan, Brian Dutton & Philip Rayner. Studying The Media: an Introduction, London: Arnold, 1998.

Sturken, M. dan Lisa Cartwright. Practices of Looking, an Introduction to Visual Culture. New York: Oxford University Press, 2001.

 

 

~ oleh Tri Nugroho Adi pada 24 Oktober 2011.

2 Tanggapan to “Film, Semiotika Sosial dan Politik Representasi”

  1. Tengkiu tambahan pencerahan tentang semiotiknya

  2. […] analisisya pada representasi dan kekuasaan sebagai suatu konstruksi sosial. Studi mengenai representasi inilah yang kemudian menjadi inti dari analisis kajian budaya kontemporer (cultural studies) yang […]

Tinggalkan komentar