Serial OBE : Mengapa Perlu  Menerapkan  Pembelajaran Yang Bersifat Partisipatif dan Kolaboratif (CBL dan PjBL) ?

Pendahuluan

Judul di atas sekaligus adalah sebuah pertanyaan yang menuntut argumentasi pentingnya menggunakan pembelajaran yang berbasis partisipatif dan kolaboratif (misal CBL dan PjBL ) ketika kita mencoba menerapkan kurikulum perguruan tinggi berbasis OBE. Uraian yang mencoba komprehensif ini  berusaha mengulasnya dengan merunut balik pada pergeseran paradigma pendidikan yang terjadi di dunia hingga sampai pada konsep pembelajaran yang menuntut bersifat partisipatif dan kolaboratif itu.

Pembelajaran Yang Bersifat Partisipatif dan Kolaboratif (CBL dan PjBL)

Berikut adalah beberapa argumen yang menjadi  pertimbangan:

  1. Mendorong Keterlibatan Aktif: Pembelajaran partisipatif dan kolaboratif memungkinkan mahasiswa untuk terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran. Dengan memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk berpartisipasi dalam diskusi, proyek kelompok, dan aktivitas kolaboratif lainnya, mereka dapat lebih aktif terlibat dalam memahami materi dan menginternalisasikannya.
  2. Pengembangan Keterampilan Soft Skills: Pembelajaran kolaboratif memungkinkan mahasiswa untuk mengembangkan keterampilan interpersonal, kepemimpinan, kerja tim, dan komunikasi yang sangat dibutuhkan dalam lingkungan profesional. Dalam konteks OBE, ini penting karena OBE juga menekankan pengembangan keterampilan dan kompetensi di luar pengetahuan murni.
  3. Mendorong Pemahaman yang Mendalam: Melalui kolaborasi dengan sesama mahasiswa, mereka dapat saling mengoreksi, membantu, dan mendukung satu sama lain dalam memahami konsep-konsep yang rumit. Diskusi kelompok dan proyek kolaboratif dapat membuka sudut pandang baru dan mendorong pemahaman yang lebih mendalam atas materi pembelajaran.
  4. Persiapan untuk Dunia Nyata: Di dunia nyata, kemampuan untuk bekerja dalam tim dan berkolaborasi dengan orang lain adalah keterampilan yang sangat dihargai oleh majikan. Dengan mengimplementasikan pembelajaran yang kolaboratif, mahasiswa akan lebih siap untuk sukses di lingkungan kerja yang memerlukan kerja tim dan kolaborasi.
  5. Memperluas Kreativitas dan Inovasi: Kolaborasi antara mahasiswa dapat menghasilkan ide-ide baru dan solusi yang inovatif untuk masalah yang kompleks. Dalam pembelajaran berbasis OBE, di mana penerapan konsep dan pemecahan masalah adalah kunci, memfasilitasi kolaborasi dapat memperluas kreativitas dan inovasi mahasiswa.
  6. Mempromosikan Toleransi dan Penghargaan terhadap Keanekaragaman: Dalam lingkungan pembelajaran yang kolaboratif, mahasiswa akan berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki latar belakang, keyakinan, dan pengalaman yang berbeda. Ini dapat membantu mempromosikan toleransi, penghargaan terhadap keanekaragaman, serta pemahaman yang lebih baik tentang perspektif orang lain.
  7. Responsif terhadap Tuntutan Pasar Kerja: Dalam era yang terus berubah, pasar kerja semakin menuntut individu yang memiliki keterampilan berkolaborasi dan adaptabilitas. Dengan menanamkan pembelajaran kolaboratif dalam kurikulum OBE, lembaga pendidikan tinggi dapat memberikan mahasiswa dengan keterampilan yang dibutuhkan untuk sukses di pasar kerja yang dinamis.

Education- A Paradigm Shift

Untuk dapat menerapkan metode pembelakarn yang berbasis partisipatif dan kolabaratif ( misalnya dengan model CBL dan PjBL)  sudah tentu membutuhkan persiapan dan strategi. .Namun sesungguhnya, upaya di atas harus dimulai terlebih dahulu dari kita sebagai pengajar ( lebih berfungsi fasilitator sebenarnya daripada pengajar dalam konteks ini) yaitu dengan memahami pergeseran paradigma Pendidikan (Education- A Paradigm Shift) yang tengah terjadi di dunia saat ini.

Pergeseran paradigma pendidikan (Education-A Paradigm Shift) adalah konsep yang mengacu pada transformasi mendasar dalam cara pendidikan dirancang, disampaikan, dan dievaluasi. Ini melibatkan perubahan dari paradigma tradisional pendidikan yang berpusat pada proses dan isi (teacher-centered) menjadi paradigma yang berpusat pada hasil dan kompetensi (student-centered), yang sering kali diwakili oleh pendekatan berbasis Outcome-Based Education (OBE).

Berikut adalah beberapa aspek umum  dari Education-A Paradigm Shift:

  1. Pergeseran dari Guru ke Siswa: Tradisionalnya, pendidikan seringkali berpusat pada peran guru sebagai sumber utama pengetahuan dan otoritas dalam pembelajaran. Namun, dalam pendekatan berbasis hasil seperti OBE, perhatian utama diberikan kepada kebutuhan dan kemajuan siswa. Siswa dilihat sebagai agen aktif dalam pembelajaran mereka sendiri, dengan peran guru lebih sebagai fasilitator dan pembimbing.
  2. Fokus pada Kompetensi dan Hasil: Paradigma baru pendidikan menekankan pentingnya mengidentifikasi tujuan pembelajaran yang jelas dan spesifik, serta mengukur pencapaian siswa berdasarkan hasil yang diinginkan. Ini mencakup pengembangan kompetensi kritis, kreatif, dan kolaboratif yang relevan dengan kebutuhan dunia nyata.
  3. Penilaian yang Berorientasi pada Hasil: Pergeseran paradigma juga mempengaruhi cara penilaian dilakukan. Sementara pendidikan tradisional sering kali menggunakan tes dan ujian untuk mengevaluasi pemahaman siswa, pendekatan berbasis hasil lebih cenderung menggunakan penilaian yang berfokus pada pencapaian kompetensi dan penerapan pengetahuan dalam konteks nyata.
  4. Penggunaan Teknologi dan Inovasi: Education-A Paradigm Shift juga mendorong penggunaan teknologi dan inovasi dalam proses pembelajaran. Ini termasuk pemanfaatan platform pembelajaran digital, aplikasi mobile, dan alat-alat pembelajaran interaktif lainnya yang memfasilitasi pembelajaran yang berpusat pada siswa dan memungkinkan personalisasi pembelajaran.
  5. Keterlibatan dan Partisipasi Siswa: Salah satu aspek kunci dari pergeseran paradigma adalah meningkatkan keterlibatan dan partisipasi siswa dalam proses pembelajaran. Ini dapat dicapai melalui pendekatan pembelajaran aktif, proyek kolaboratif, diskusi kelompok, dan pengalaman belajar yang berpusat pada masalah.
  6. Pembelajaran seumur Hidup: Paradigma baru pendidikan juga menekankan pentingnya pembelajaran seumur hidup (lifelong learning) sebagai respons terhadap perubahan yang cepat dalam lingkungan sosial, ekonomi, dan teknologi. Ini mendorong pembelajaran yang berkelanjutan dan fleksibel yang dapat mengakomodasi kebutuhan individu sepanjang hidup mereka.

From Education 1.0 to Education 4.0

Selain mencoba memahami pergeseran paradigma pendidikan itu melalui identifikasi ciri-ciri umumnya di atas, kita bisa juga membahas lebih rinci dengan mengenali karakteristik Pendidikan mulai dari Education 1.0 hingga Education 4.0

Education 1.0 ( Pedagogy)

Education 1.0, yang sering disebut sebagai Pedagogy, merujuk pada pendekatan tradisional dalam pendidikan yang berfokus pada peran guru sebagai sumber utama pengetahuan dan otoritas dalam pembelajaran. Berikut adalah beberapa ciri-ciri pendekatan Pedagogy atau Education 1.0:

  1. Guru sebagai Pusat: Dalam pendekatan Pedagogy, guru ditempatkan sebagai pusat dalam proses pembelajaran. Mereka berperan sebagai pemimpin kelas yang memberikan instruksi, menerangkan konsep, dan memberikan pengetahuan kepada siswa.
  2. Pembelajaran Berorientasi pada Guru: Fokus utama pendekatan Pedagogy adalah pada pengajaran oleh guru, dengan penekanan pada pengiriman materi kurikulum kepada siswa. Siswa dianggap sebagai penerima pasif dari informasi yang disampaikan oleh guru.
  3. Penekanan pada Pemahaman Konsep: Education 1.0 cenderung menekankan pada pemahaman konsep dan fakta, dengan fokus pada menguasai materi kurikulum yang telah ditetapkan. Tes dan ujian sering digunakan untuk mengukur pemahaman siswa terhadap materi.
  4. Model Pembelajaran Tidak Interaktif: Pembelajaran dalam pendekatan Pedagogy sering kali bersifat satu arah, dengan guru yang menyampaikan informasi kepada siswa dan siswa yang mendengarkan. Interaksi antara guru dan siswa terbatas, dan siswa memiliki sedikit kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses pembelajaran.
  5. Kurikulum yang Ditentukan di Awal: Dalam pendekatan Pedagogy, kurikulum dan materi pembelajaran ditentukan di awal oleh pihak otoritas pendidikan, seperti departemen pendidikan atau kurikulum sekolah. Kurikulum ini sering kali bersifat standar dan tidak fleksibel.
  6. Penilaian Tradisional: Penilaian dalam pendekatan Pedagogy sering kali didasarkan pada tes dan ujian yang mengevaluasi pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran. Hasil penilaian digunakan untuk menentukan apakah siswa berhasil atau tidak dalam memahami konsep yang diajarkan.
  7. Fokus pada Kelas dan Guru: Pendidikan 1.0 cenderung memusatkan perhatian pada kelas dan guru, dengan sedikit perhatian terhadap kebutuhan individual siswa. Pengajaran dilakukan dalam skala kelas yang besar, dan guru bertanggung jawab atas kemajuan belajar seluruh kelas.

Education 2.0  (Andragogy)

Education 2.0, yang sering disebut sebagai Andragogy, merupakan pendekatan pendidikan yang lebih berpusat pada siswa dan memperhatikan kebutuhan dan karakteristik khusus dari peserta didik dewasa. Berikut adalah beberapa ciri-ciri pendekatan Andragogy atau Education 2.0:

  1. Pusat pada Siswa: Dalam pendekatan Andragogy, siswa ditempatkan sebagai pusat dalam proses pembelajaran. Pendekatan ini mengakui bahwa siswa dewasa memiliki pengalaman, kebutuhan, dan tujuan belajar yang unik, sehingga mereka lebih aktif terlibat dalam merencanakan, mengelola, dan mengevaluasi pembelajaran mereka sendiri.
  2. Pembelajaran Berorientasi pada Siswa: Education 2.0 menempatkan penekanan pada pembelajaran yang dipimpin oleh siswa, dengan fokus pada memfasilitasi pembelajaran yang berpusat pada kebutuhan, minat, dan pengalaman siswa. Siswa diharapkan untuk mengambil peran aktif dalam merancang dan mengelola pembelajaran mereka sendiri.
  3. Pendekatan Interaktif: Pembelajaran dalam pendekatan Andragogy cenderung bersifat interaktif, dengan penggunaan teknologi, diskusi kelompok, dan proyek kolaboratif untuk mendorong keterlibatan siswa. Interaksi antara siswa dan fasilitator pembelajaran (bukan hanya guru) menjadi penting dalam memfasilitasi proses belajar.
  4. Penekanan pada Pembelajaran Seumur Hidup: Andragogy mengakui pentingnya pembelajaran seumur hidup dan mengembangkan keterampilan belajar mandiri yang diperlukan untuk menghadapi perubahan dan tantangan di lingkungan kerja yang dinamis.
  5. Pembelajaran Berbasis Masalah: Pendekatan Andragogy mendorong penggunaan pembelajaran berbasis masalah, di mana siswa didorong untuk menemukan solusi untuk masalah dunia nyata yang relevan dengan konteks mereka. Ini memungkinkan siswa untuk menghubungkan teori dengan praktik, serta mengembangkan keterampilan pemecahan masalah.
  6. Penilaian Formatif dan Pembelajaran: Education 2.0 menekankan pentingnya penilaian formatif yang berkelanjutan dan responsif, yang memungkinkan siswa untuk memantau kemajuan mereka, menerima umpan balik, dan melakukan perbaikan saat diperlukan. Pendekatan ini memandang kesalahan sebagai peluang untuk belajar dan berkembang.
  7. Fasilitator Pembelajaran sebagai Mitra: Fasilitator pembelajaran dalam pendekatan Andragogy berperan sebagai mitra dalam proses pembelajaran, bukan sebagai sumber utama pengetahuan atau otoritas. Mereka mendukung, memfasilitasi, dan memberikan bimbingan kepada siswa dalam mencapai tujuan belajar mereka.

Education 3.0

Antara Education 3.0 dengan 2.0 mungkin agak sulit dibedakan, karena keduanya memang berada dalam ranah Andragogy,  namun kalau kita sandingkan ada beberapa penekanan yang berbeda utamanya dilihat dari posisi siswa sebagai pembelajar, peran fasilitator dan penggunaan teknologi sebagai alat bantu pembelajaran. Berikut kita bahas perbedaannya.

Perbedaan antara Education 2.0 dan Education 3.0:

  1. Orientasi Pada Pembelajar:
  • Education 2.0 (Andragogy): Pendekatan ini berpusat pada siswa, mengakui bahwa siswa memiliki kebutuhan, minat, dan tujuan belajar yang unik. Siswa diberdayakan untuk mengambil peran aktif dalam merencanakan, mengelola, dan mengevaluasi pembelajaran mereka sendiri.
  • Education 3.0: Lebih dari sekadar berpusat pada siswa, Education 3.0 menggeser fokus dari pembelajaran individual ke pembelajaran kolaboratif dan kemitraan antara pembelajar. Ini menekankan kolaborasi, keterlibatan masyarakat, dan kontribusi aktif siswa dalam menciptakan dan membagikan pengetahuan.
  1. Peran Fasilitator Pembelajaran:
  • Education 2.0 (Andragogy): Fasilitator pembelajaran berperan sebagai mitra dalam proses pembelajaran, mendukung dan memfasilitasi siswa dalam mencapai tujuan belajar mereka. Mereka memainkan peran penting dalam memberikan bimbingan dan umpan balik kepada siswa.
  • Education 3.0: Fasilitator pembelajaran bertindak sebagai kurator pengetahuan dan penghubung, memfasilitasi kolaborasi antara siswa, pakar, dan komunitas. Mereka mendukung siswa dalam menjelajahi sumber daya dan mengembangkan koneksi dengan pengetahuan di luar kelas.
  1. Pembelajaran Kolaboratif:
  • Education 2.0 (Andragogy): Meskipun pendekatan Andragogy mendorong pembelajaran yang interaktif dan kolaboratif, fokusnya lebih pada keterlibatan siswa secara mandiri dalam merencanakan dan mengelola pembelajaran mereka sendiri.
  • Education 3.0: Pembelajaran kolaboratif menjadi pusat dalam pendekatan ini, dengan penekanan pada kerja tim, berbagi pengetahuan, dan penciptaan bersama. Siswa didorong untuk berkolaborasi dengan sesama siswa, pengajar, dan anggota masyarakat untuk mencapai tujuan pembelajaran.
  1. Penggunaan Teknologi:
  • Education 2.0 (Andragogy): Teknologi digunakan sebagai alat bantu dalam memfasilitasi pembelajaran yang berpusat pada siswa. Ini termasuk penggunaan platform pembelajaran digital, aplikasi mobile, dan alat interaktif lainnya.
  • Education 3.0: Teknologi diintegrasikan secara luas sebagai bagian dari pengalaman pembelajaran, tetapi dengan penekanan pada penggunaan teknologi yang memfasilitasi kolaborasi, koneksi, dan penciptaan konten oleh siswa.

Education 4.0 (Heutagogy)

Education 4.0, yang sering disebut sebagai Heutagogy, adalah pendekatan pendidikan yang mengarah pada pemberdayaan penuh pembelajar untuk mengelola pembelajaran mereka sendiri dan menjadi pencipta pengetahuan. Heutagogy mendorong pembelajar untuk mengembangkan kemampuan belajar mandiri, refleksi diri, dan kepemimpinan dalam mengarahkan proses pembelajaran mereka sendiri. Berikut adalah penjelasan detail mengenai Heutagogy:

  1. Pemberdayaan Pembelajar: Heutagogy mengutamakan pemberdayaan penuh pembelajar. Ini berarti memberikan kontrol penuh kepada pembelajar untuk merencanakan, mengatur, dan mengevaluasi pembelajaran mereka sendiri. Pembelajar diberi kebebasan untuk menentukan jalannya pembelajaran dan mengambil tanggung jawab atas hasilnya ( Personalized Learning )
  2. Belajar Mandiri: Heutagogy menekankan pengembangan keterampilan belajar mandiri yang kuat pada pembelajar. Hal ini melibatkan kemampuan untuk mengidentifikasi kebutuhan belajar sendiri, mencari sumber daya, merancang strategi pembelajaran, dan mengukur kemajuan secara mandiri serta menimbang nilai-nilai yang dikandung dalam proses pembelajaran  (Curriculum: Flexible, Adopted & Collaborative )
  3. Pembelajaran Berbasis Pengalaman: Heutagogy memanfaatkan pengalaman pembelajar sebagai titik awal dalam proses pembelajaran. Pembelajar didorong untuk memanfaatkan pengalaman pribadi mereka, baik dari lingkungan akademik maupun profesional, untuk membangun pengetahuan baru dan mengaitkannya dengan konsep yang dipelajari (Experiental Learning)
  4. Pembelajaran Seumur Hidup: Heutagogy mengakui pentingnya pembelajaran seumur hidup dalam menghadapi perubahan yang cepat dalam dunia saat ini. Pembelajar diharapkan untuk terus belajar dan mengembangkan keterampilan baru sepanjang hidup mereka, dengan menjadi agen aktif dalam mengelola perjalanan pembelajaran mereka.
  5. Pembelajaran Kolaboratif dan Jaringan: Meskipun fokus pada belajar mandiri, Heutagogy juga mempromosikan pembelajaran kolaboratif dan berbagi pengetahuan antara pembelajar. Ini melibatkan pembelajar dalam jaringan dan komunitas belajar yang memungkinkan pertukaran ide, pengalaman, dan pengetahuan.( Connected, Big data & AI)
  6. Refleksi dan Metakognisi: Pembelajar dalam pendekatan Heutagogy didorong untuk melakukan refleksi diri secara teratur tentang proses pembelajaran mereka. Ini melibatkan pemantauan dan evaluasi diri, serta pengembangan keterampilan metakognisi untuk memahami dan mengatur strategi pembelajaran mereka. ( Capability & Values- Based learning)
  7. Penerapan Teknologi: Heutagogy memanfaatkan teknologi untuk mendukung pembelajaran yang mandiri dan kolaboratif. Ini mencakup penggunaan platform pembelajaran digital, sumber daya online, media sosial, dan alat-alat interaktif lainnya yang memfasilitasi akses ke pengetahuan dan interaksi dengan sesama pembelajar. (Smart technology_digitized & virtual classrooms; Transformation & Etic Digital)

(Bersambung )

Selanjutnya disilakan pembaca untuk mendalami lebih jauh beberapa referensi yang kami rekomendasikan di bawah ini :

  1. “Pedagogy of the Oppressed” oleh Paulo Freire ( 1972)  dalam https://www.researchgate.net/publication/260297860_Paulo_Freire’s_Pedagogy_of_the_Oppressed
  2. “Andragogy in Action: Applying Modern Principles of Adult Learning” oleh Malcom S. Knowles
  3. “Education 3.0: Seven Steps to Better Schools” oleh Sean Tierney
  4. “Heutagogy and Lifelong Learning: A Review of Heutagogical Practice and Self-Determined Learning” oleh Lisa Marie Blaschke, Chris Kenyon, dan Stewart Hase (2014) dalam https://www.researchgate.net/publication/241891015_Heutagogy_and_Lifelong_Learning_A_Review_of_Heutagogical_Practice_and_Self-Determined_Learning

5. “Outcome-Based Education: Critical Issues and Answers” oleh William Spady:

6. “The Complete Guide to OBE: Outcome-Based Education” oleh M. David Merrill

7 “Outcome-Based Education: A Debate” oleh William Spady dan Dennis J. Littky

~ oleh Tri Nugroho Adi pada 16 April 2024.

Tinggalkan komentar