Media Multiplexity Theory ( Caroline Haythornthwaite )

•12 Mei 2024 • Tinggalkan sebuah Komentar

INTERPERSONAL COMMUNICATION: RELATIONSHIP MAINTENANCE

Chapter 13 buku Griffin (2019) ini merupakan materi pembahasan yang terbaru atau termuda, meski demikian sangat menarik perhatian bagi kalangan peneliti utamanya yang mengkaji implikasi pemanfaatan media sosial dalam relasi interpersonal. Dalam review ini kita akan mengenali sekaligus memberi catatan terkait teori ini.

  1. Introduction.

Caroline Haythornthwaite menemukan bahwa jumlah media yang kita gunakan dalam suatu hubungan sering kali mengungkapkan jenis ikatan yang kita miliki dengan orang tersebut. Teori multipleksitas media bertumpu pada temuan empiris yang konsisten: semakin kuat ikatan relasional yang kita miliki dengan seseorang, semakin banyak media yang kita gunakan dengan orang tersebut.

Haythornthwaite mengambil pendekatan cybernetic untuk memahami bagaimana dan mengapa kita menggunakan saluran komunikasi yang berbeda

II. Memetakan jaringan sosial kita.

Para pakar tradisi sibernetika berpendapat bahwa kita dapat memetakan seperti apa hubungan kita di jaringan sosial.

Pakar jejaring sosial menyebut ikatan sebagai ikatan lemah jika tidak menyita banyak waktu dan tenaga, seperti halnya kenalan, teman sekelas, dan saudara jauh. Sebaliknya, ikatan yang kuat seperti pasangan romantis, keluarga dekat, dan teman dekat menuntut kita melakukan investasi yang signifikan dalam hubungan tersebut.

Sosiolog Mark Granovetter menawarkan definisi yang lebih formal tentang kekuatan ikatan, dengan mengklaim bahwa itu adalah “kombinasi jumlah waktu, intensitas emosional, keintiman (saling percaya), dan layanan timbal balik” yang dipertukarkan dalam hubungan. Para ahli teori sibernetika ingin memahami bagaimana struktur jaringan membentuk aliran informasi dan sumber daya antar manusia.

III. Kapankah ikatan yang kuat menjadi lemah, dan kapankah ikatan yang lemah menjadi kuat?

Dengan ikatan yang kuat, kita mengalami penerimaan, keintiman, dan kenikmatan. Sosiolog Stanford, Mark Granovetter, menyatakan bahwa dia tidak begitu yakin bahwa ikatan yang kuat selalu lebih baik daripada ikatan yang lemah. Ia menegaskan pentingnya hubungan dekat untuk memahami identitas kita, namun ia juga mencatat bahwa ikatan yang kuat memiliki kelemahan utama: Hubungan tersebut berlebihan dalam hal mengakses informasi dan sumber daya.

Menurut Granovetter, akses cepat terhadap beragam informasi merupakan salah satu kekuatan dari ikatan yang lemah. Di antara hubungan yang lemah, hubungan yang menjembatani mempunyai peran yang sangat kuat. Mereka adalah ikatan yang menghubungkan satu kelompok yang kuat dengan kelompok lainnya. Risalah Granovetter tentang ikatan lemah telah menginspirasi banyak sarjana, termasuk Haythornthwaite, yang menemukan bahwa penjelasannya tentang ikatan kuat dan lemah sangat berguna untuk memahami saluran yang menopang ikatan tersebut.

IV. Lima proposisi teori multipleksitas media.

A. Proposisi #1: Kekuatan ikatan berhubungan positif dengan multipleksitas media.

Pada awalnya, Haythornthwaite ingin memahami bagaimana pelajar online beradaptasi dengan lingkungan yang dimediasi komputer: “Apa yang terjadi pada hubungan seperti itu ketika kontak tatap muka tidak tersedia atau sangat terbatas?” Namun temuan Haythornthwaite segera membawanya ke wilayah yang belum dijelajahi: “Menanyakan ‘siapa berbicara kepada siapa tentang apa dan melalui media apa’ mengungkapkan hasil yang tidak terduga bahwa pasangan yang memiliki ikatan yang lebih kuat memanfaatkan lebih banyak media yang tersedia, sebuah fenomena yang saya sebut sebagai multipleksitas media.”

Yang membedakan ikatan kuat dan ikatan lemah adalah jumlah media yang digunakan oleh pasangan tersebut. Kekuatan ikatan yang lebih besar tampaknya mendorong lebih banyak media yang digunakan. Meskipun Haythornthwaite awalnya mengamati multipleksitas media dalam kelompok pendidikan dan organisasi, para sarjana dalam tradisi sosio-psikologis segera mengambil idenya dan menerapkannya pada konteks interpersonal.

B. Proposisi #2: Isi komunikasi berbeda-beda berdasarkan kekuatan ikatannya, bukan berdasarkan medianya.

Peneliti proses interaksi sosial sangat tertarik pada fase inisiasi hubungan, dan mereka menunjukkan perlunya waktu yang lebih lama selama fase ini.

Para ahli teori multipleksitas media lebih tertarik pada pemeliharaan hubungan yang berkelanjutan, dan mereka menunjuk pada sifat ikatan antarpribadi itu sendiri.

Sebelumnya dalam penelitiannya, Haythornthwaite menemukan bahwa penggunaan medium partner tidak mengubah topik pembicaraan mereka. Dengan saluran yang lebih banyak dan beragam, beberapa pakar berpendapat bahwa proposisi ini mungkin tidak selalu benar.

Samuel Hardman Taylor berspekulasi alokasi ini mungkin terjadi karena keterjangkauan saluran, atau sifat saluran yang memungkinkan atau membatasi tindakan tertentu.

C. Proposisi #3: Kekuatan ikatan dan penggunaan media menyebabkan satu sama lain seiring berjalannya waktu.

Menurut teori multipleksitas media, penggunaan media dan kekuatan ikatan saling mempengaruhi. Ikatan yang lemah tidaklah rumit dan tidak memerlukan banyak saluran untuk mempertahankannya. Ikatan yang lebih kuat memerlukan lebih banyak media untuk mengatur hubungan mereka yang bervariasi dan saling bergantung.

D. Proposisi #4: Perubahan dalam lanskap media khususnya mempengaruhi ikatan yang lemah.

Teori multipleksitas media menyadari bahwa terkadang kita kehilangan kemampuan untuk berkomunikasi melalui suatu saluran. Maka secara keseluruhan, “tesis utama MMT adalah… perubahan pada lanskap media hanya sedikit mengubah ikatan yang kuat, namun mungkin akan mengubah sifat ikatan yang lemah secara signifikan.”

E. Proposisi #5: Kelompok mempunyai hierarki ekspektasi penggunaan media.

Alokasi saluran yang berbeda untuk waktu yang berbeda menciptakan hierarki ekspektasi penggunaan media. Bagi Haythornthwaite, tidak ada yang sakral dalam hierarki penggunaan media. Andrew Ledbetter dan Samuel Hardman Taylor menemukan bahwa perubahan dalam penggunaan saluran media dipandang sebagai pelanggaran oleh anggota keluarga.

V. Refleksi etis: Mengingat lagi pernyataan  Turkle

Teori multipleksitas media memperlakukan saluran sebagai hal yang dapat dipertukarkan—apa yang dapat kita komunikasikan melalui satu media, kita dapat menemukan cara untuk mengkomunikasikannya di media lain. Yang penting adalah jumlah saluran yang digunakan, bukan sifat saluran tersebut.

Sherry Turkle prihatin bahwa konektivitas yang disediakan oleh teknologi seluler mempunyai konsekuensi negatif yang tidak terduga terhadap kesehatan hubungan antarpribadi. Dia yakin gangguan teknologi seluler yang terus-menerus mengalihkan perhatian dari hal-hal yang menjadikan kita manusia sejati, yakni percakapan, keintiman, dan empati. Perangkat yang memungkinkan kita berbicara dengan orang di mana pun mungkin menghambat kemampuan kita untuk terhubung dengan orang-orang yang ada di sini, saat ini.

VI. Kritik: Kuat dalam kesederhanaan, lemah dalam penjelasan dan prediksi.

Teori multipleksitas media adalah teori termuda dalam buku ini, namun teori ini telah memperoleh banyak pengikut di kalangan sarjana di dalam dan di luar disiplin komunikasi. “Sampai saat ini, [teori tersebut] mewakili upaya paling komprehensif dan sistematis untuk menjelaskan bagaimana multimodalitas kehidupan sosial memengaruhi, dan dipengaruhi oleh, karakteristik hubungan antarpribadi.”

Salah satu kekuatan terbesar teori ini adalah kesederhanaannya. Hipotesis-hipotesis ini dapat diuji, dan ketika para ahli melakukan penelitian kuantitatif, angka-angka tersebut cenderung mendukung klaim teori tersebut. Yang membuat teori ini lemah adalah penjelasannya terhadap data.

Haythornthwaite tampaknya menekankan bahwa kekuatan ikatan mendorong perluasan saluran. Namun di lain waktu, dia mengakui bahwa peningkatan komunikasi mungkin akan memperkuat ikatan tersebut. Kekhawatiran lain mengenai penjelasan data melibatkan kondisi batas teori. Multipleksitas media mungkin tidak terjadi pada jenis hubungan tertentu.

Penelitian tambahan mengenai klaim kausalitas teori ini dapat meningkatkan kemampuan teori tersebut dalam memprediksi kejadian di masa depan. Meskipun diperlukan prediksi dan penjelasan yang lebih baik, teori ini telah menunjukkan kegunaan praktisnya.

Review  dari

Griffin, EM. 2019. Pandangan Pertama pada Teori Komunikasi. edisi ke-10. New York: McGraw Hill bab 13  Media Multiplexity Theory

Teori Dialektika Relasional(Leslie Baxter & Mikhail Bakhtin)

•18 April 2024 • Tinggalkan sebuah Komentar

KOMUNIKASI INTERPERSONAL: PEMELIHARAAN HUBUNGAN

  1. Pendahuluan

Teori dialektika relasional Leslie Baxter memperlakukan pembicaraan sebagai inti dari hubungan dekat. Baxter menemukan bahwa orang-orang terjebak dalam “simpul kontradiksi yang dinamis, interaksi yang tiada henti antara kecenderungan yang berlawanan dan yang berlawanan. Karya Baxter telah menghasilkan dua versi RDT, pernyataan dan premis asli (RDT 1.0) dan RDT 2.0 yang lebih baru dengan wacana sebagai konsep inti.

  1. Wacana yang menciptakan makna

Konsep sentral teori dialektika relasional adalah wacana, atau aliran pembicaraan yang “bersatu di sekitar objek makna tertentu.” Baxter berpendapat bahwa wacana membentuk atau mengkonstruksi makna sesuatu. Kita dapat melihat sifat konstitutif dari wacana dalam cara mitra relasional membicarakan persamaan dan perbedaan mereka. Banyak ilmu pengetahuan tradisional yang menghargai kesamaan sebagai perekat positif yang menyebabkan penutupan. Pendekatan konstitutif Baxter tidak sejalan. Perbedaan sama pentingnya dengan persamaan. Kita cenderung memikirkan bagaimana kita menggunakan pembicaraan. Aneh rasanya memikirkan bagaimana pembicaraan membentuk kita.

  1. Dialog versus monolog

Untuk membantu memahami dunia wacana, Baxter banyak memanfaatkan pemikiran intelektual Rusia abad ke-20, Mikhail Bakhtin. Filsafat Bakhtin mengkritik monolog—cara berbicara yang menekankan satu wacana resmi dan membungkam wacana lainnya. Bakhtin menganggap dialog sebagai “sebuah proses di mana persatuan dan perbedaan, dalam beberapa bentuk, saling berperan, baik satu sama lain maupun bertentangan.” Baxter berpendapat bahwa dialog menjiwai hubungan interpersonal, dengan pembicaraan kita yang bergema dengan kata-kata yang telah diucapkan sebelumnya, kata-kata yang akan datang, dan kata-kata yang mungkin tidak pernah berani kita ucapkan. Dia menyebut ini sebagai rantai ucapan. Meskipun Baxter percaya bahwa wacana menciptakan hubungan antarpribadi, sebagian besar penelitian terbaru mengenai teori tersebut menyelidiki keluarga.

  1. Tiga dialektika umum yang membentuk hubungan

Dari ratusan wawancara tentang hubungan dekat, Baxter mendengar orang-orang menyuarakan tiga tema yang berulang: integrasi–pemisahan, stabilitas–perubahan, dan ekspresi– nonekspresi . Dalam iterasi teorinya yang pertama (RDT 1.0), dia menyebut kontradiksi ini. Dia tidak lagi menyukai kata itu, karena mungkin membuat orang mengira dia sedang membicarakan konflik psikologis antara keinginan yang berbeda.

Baxter berpikir kita mempunyai motivasi internal seperti itu, namun karena dia menganggap serius komunikasi, dia berpikir wacana budaya menciptakan dan membentuknya. Baxter menyebut tema-tema ini sebagai perjuangan diskursif atau wacana yang bersaing. Dialektika Internal menggambarkan ketiga dialektika yang membentuk hubungan antara dua orang. Dialektika Eksternal menggambarkan dialektika yang menciptakan hubungan antara dua orang dan komunitas di sekitar mereka.

  1. Integrasi dan pemisahan.

Dalam hubungan apa pun, Baxter menganggap perjuangan diskursif antara koneksi dan otonomi sebagai hal yang mendasar. Jika salah satu pihak menang, maka hubungan tersebut akan hilang. Wacana integrasi dan pemisahan juga membahas inklusi dan pengasingan pasangan dari orang lain dalam jaringan sosial mereka

  1. Stabilitas dan perubahan.

Tanpa bumbu variasi yang membumbui waktu kita bersama, hubungan akan menjadi hambar, membosankan, dan, pada akhirnya, mati secara emosional. Versi eksternal dari kepastian/ketidakpastian adalah konvensionalitas/keunikan. Wacana konvensionalitas mempertimbangkan kemiripan suatu hubungan dengan hubungan lainnya, sedangkan wacana keunikan menekankan perbedaan.

  1. Ekspresi dan nonekspresi .

Wacana ekspresi berbenturan dengan wacana nonekspresi . Sama seperti dialektika keterbukaan-ketertutupan yang merupakan perjuangan diskursif yang berkelanjutan dalam suatu hubungan, pasangan dan keluarga juga menghadapi pilihan mengenai informasi apa yang harus diungkapkan atau disembunyikan dari pihak ketiga.

  1. Bagaimana makna muncul dari pergulatan antar wacana

Tidak semua wacana itu sama: wajar jika beberapa wacana lebih menonjol dibandingkan wacana lainnya. Baxter memilih untuk tidak fokus pada pengelolaan wacana karena dengan mengatakan bahwa orang “mengelola” wacana “menyiratkan bahwa kontradiksi, atau pergulatan diskursif, ada di luar komunikasi.” Dia lebih memilih mempertimbangkan bagaimana pola pembicaraan memposisikan wacana tertentu sebagai wacana yang dominan atau terpinggirkan.

Karyanya telah mengidentifikasi dua pola menyeluruh yang dibedakan berdasarkan waktu. Dalam satu pola, wacana-wacana yang bersaing mengalami pasang surut tetapi tidak pernah muncul secara bersamaan, yang disebut pemisahan diakronis. Sebaliknya, interaksi sinkronis menyuarakan banyak wacana dalam waktu dan tempat yang sama.

  1. Pemisahan: Wacana yang berbeda pada waktu yang berbeda.

Menurut Baxter, perpisahan bukanlah hal yang aneh. Ekspresi suara-suara yang berlawanan secara bersamaan merupakan pengecualian dan bukan aturan.

Baxter telah mengidentifikasi dua pola pemisahan yang khas:

  1. spiral (spiraling inversion) melibatkan peralihan bolak-balik sepanjang waktu antara dua wacana yang kontras, menyuarakan satu wacana dan kemudian wacana lainnya.
  2. Segmentasi mengelompokkan berbagai aspek hubungan.

Dibandingkan monolog salah satu wacana dominan, Baxter menganggap pemisahan adalah langkah ke arah yang benar.

  1. Interaksi: Wacana yang berbeda pada waktu yang sama

Temuan Baxter menggambarkan empat bentuk interaksi, dimulai dari yang lebih bersifat monolog dan berlanjut ke yang lebih dialogis. Menyangkal penyebutan wacana yang terpinggirkan agar dianggap tidak penting. Countering menggantikan wacana yang diharapkan dengan wacana alternatif. Menghibur mengakui bahwa setiap wacana mempunyai alternatif. Transformasi menggabungkan dua wacana atau lebih, mengubahnya menjadi sesuatu yang baru.

Mungkin bentuk transformasi tertinggi adalah momen estetis: “perasaan persatuan sesaat melalui rasa hormat yang mendalam terhadap suara-suara yang berbeda dalam dialog.”

  1. Refleksi etis: etika dialogis Martin Buber

Baxter mencatat bahwa pendekatan etis Martin Buber sangat cocok dengan teori dialektika relasional. Pendekatan etisnya fokus pada hubungan antar manusia dan bukan pada kode etik moral.

Buber mengontraskan dua jenis hubungan: I-It (di mana orang lain diperlakukan sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan) versus I-Thou (di mana pasangan dianggap sebagai diri kita sendiri). Buber mengatakan kita hanya bisa melakukan ini melalui dialog, meski penggunaan istilah tersebut lebih dekat maknanya dengan momen estetika Bakhtin.

Dalam dialog, kita menciptakan hubungan yang melaluinya kita membantu satu sama lain menjadi lebih manusiawi. Ada jurang sempit yang memisahkan relativisme dari absolutisme.

  1. Kritik: Momen estetis ya; Daya tarik estetika, mungkin tidak.

Teori dialektika relasional cukup cocok sebagai teori interpretatif. Teori ini menawarkan cara baru untuk memahami hubungan dekat. Karya Leslie Baxter telah menginspirasi generasi sarjana dialektika relasional, dan mereka melanjutkan karyanya. Namun ia melakukan hal tersebut dengan mengecualikan kesarjanaan obyektif dan hampir secara eksklusif mempromosikan karya kualitatif. Dengan mendorong beragam kelompok orang untuk membicarakan hubungan mereka, dan menganggap serius apa yang mereka katakan, Baxter mencontohkan nilai tinggi yang Bakhtin berikan dalam mendengarkan banyak suara. Baxter tidak hanya mendengarkan banyak suara, namun teorinya berupaya menciptakan ruang di mana suara-suara yang terpinggirkan dapat didengar. Teori ini menekankan pentingnya kerja kualitatif ketika menggunakan teori tersebut. Karya Baxter patut dipuji karena kompleksitasnya, namun kekayaan gagasan dan istilah-istilah filosofis yang bernuansa membuatnya sulit dijual dalam hal nilai estetika.

Dalam menggambarkan momen-momen keutuhan yang sekilas, Baxter mengemukakan sebuah cita-cita menarik yang dapat kita cita-citakan, di mana daya tarik dari wacana-wacana yang berlawanan mungkin sebenarnya menyenangkan.

Review dari Griffin, EM. 2023. A First Look  at  Communication Theory.    11th    ed.    New York: McGraw Hill bab 11 Teori Dialektika  Relasional

Social Information Processing Theory ( Joseph Walther )

•18 April 2024 • Tinggalkan sebuah Komentar

INTERPERSONAL COMMUNICATION: RELATIONSHIP DEVELOPMENT

I. Pendahuluan.

Klaim utama teori pemrosesan informasi sosial adalah: Orang dapat membangun hubungan interpersonal meskipun terdapat keterbatasan yang disebabkan oleh saluran yang dimediasi. Perubahan pesat dalam teknologi komunikasi selama beberapa dekade terakhir telah membuat frustasi para pakar komunikasi yang berusaha memahami apa arti semua ini bagi hubungan antarpribadi. Walther mengusulkan bahwa dalam kondisi yang tepat, orang dapat melakukan komunikasi antarpribadi dan kelompok yang memuaskan secara online. SIP menangani segala bentuk komunikasi termediasi yang membatasi isyarat nonverbal yang dapat diungkapkan seseorang.

II. Online versus tatap muka:

Walther menamakan teorinya Social Information Processing (SIP) karena ia percaya bahwa hubungan akan tumbuh hanya jika pihak-pihak pertama kali mendapatkan informasi tentang satu sama lain dan menggunakan informasi tersebut untuk membentuk kesan. Ini adalah rangkaian peristiwa yang terjadi terlepas dari media yang digunakan untuk berkomunikasi: kita mendapatkan informasi, kita membentuk kesan, dan kemudian hubungan itu bertumbuh.

SIP berfokus pada bagaimana mata rantai pertama terlihat sedikit berbeda saat berkomunikasi online. Sebelum SIP, banyak ahli teori komunikasi berbagi isyarat yang menyaring interpretasi pesan online. Mereka percaya kurangnya isyarat nonverbal akan mengganggu proses memperoleh informasi dan membentuk kesan. Flaming adalah penggunaan bahasa yang tidak bersahabat yang menyerang sasarannya, menciptakan iklim beracun bagi perkembangan dan pertumbuhan hubungan.

Walther tidak menganggap hilangnya isyarat nonverbal berakibat fatal atau bahkan merugikan kesan yang jelas terhadap orang lain atau perkembangan relasional yang dipicunya.

Dua fitur komunikasi online memberikan dasar pemikiran bagi teori SIP.

1. Isyarat verbal: Pengguna CMC dapat menciptakan kesan utuh terhadap orang lain hanya berdasarkan isi pesan linguistik.

2. Perpanjangan waktu: Meskipun pertukaran informasi sosial lebih lambat secara online dibandingkan tatap muka, seiring berjalannya waktu hubungan yang terbentuk tidak menjadi lebih lemah atau lebih rapuh.

III.  Isyarat afinitas verbal menggantikan isyarat nonverbal.

Berdasarkan penelitian dasar Mehrabian tentang pesan-pesan yang tidak konsisten, orang-orang memberi bobot lebih pada isyarat nonverbal ketika menafsirkan pesan-pesan yang saluran verbal dan nonverbalnya berbenturan. Isyarat nonverbal menjadi kurang kuat jika tidak bertentangan dengan pesan verbal atau saat kita menyampaikan fakta. Walther mengklaim kita bisa mengganti isyarat nonverbal dengan pesan verbal yang menyampaikan makna yang sama. Kemampuan untuk mengubah isyarat nonverbal menjadi makna verbal bukanlah hal baru; contoh sebelumnya mencakup hubungan sahabat pena.

IV. Dukungan eksperimental untuk ide kontra-intuitif

Walther dan rekan-rekannya melakukan penelitian untuk menguji bagaimana komunikator online mencapai tujuan sosial mereka dan apakah ketertarikan dapat diungkapkan melalui media digital.

Dalam penelitiannya, para peserta mendiskusikan dilema moral dengan orang asing melalui komunikasi online atau tatap muka. Orang asing itu sebenarnya adalah sebuah konfederasi penelitian yang diperintahkan untuk mengejar tujuan komunikasi tertentu. Separuh dari anggota konfederasi disuruh berinteraksi dengan cara yang ramah dan pasangan sisanya disuruh berinteraksi dengan cara yang tidak ramah.

Media komunikasi tidak memberikan perbedaan dalam nada emosi yang dirasakan oleh para peserta. Keterbukaan diri, pujian, dan pernyataan kasih sayang yang eksplisit berhasil mengomunikasikan kehangatan. Dalam interaksi tatap muka, peserta mengandalkan ekspresi wajah, kontak mata, nada suara, posisi tubuh, dan isyarat nonverbal lainnya untuk mengomunikasikan afiliasi.

Dibandingkan dengan saluran yang berorientasi visual, membangun kehangatan melalui teks mungkin memerlukan waktu lebih lama.

V. Perpanjangan waktu: Variabel penting dalam komunikasi online.

Menurut Walther, komunikator online memerlukan waktu yang lama untuk membangun hubungan yang erat. Daripada meminum segelas dengan meneguk banyak, menyesap sedikit akan memakan waktu lebih lama. Dalam jangka waktu yang lama, permasalahannya bukanlah pada jumlah informasi sosial yang dapat disampaikan secara online; sebaliknya, ini adalah kecepatan pengumpulan informasi.

Email dan Twitter memungkinkan kita mengirim pesan, namun sebagian besar masih berupa teks. Bahkan lebih banyak media visual (Zoom, Instagram) masih memberikan lebih sedikit informasi sosial dibandingkan yang tersedia secara tatap muka. Pesan yang diucapkan secara langsung memerlukan waktu setidaknya empat kali lebih lama untuk berkomunikasi secara online. Perbedaan ini mungkin menjelaskan mengapa interaksi online dianggap bersifat impersonal dan berorientasi pada tugas.

Antisipasi interaksi di masa depan dan isyarat kronis juga dapat berkontribusi terhadap keintiman di Internet. Orang-orang akan bertukar pesan yang lebih relasional jika mereka merasa akan bertemu lagi dan antisipasi interaksi di masa depan ini akan memotivasi mereka untuk mengembangkan hubungan. Walther percaya bahwa isyarat kronis, atau indikator nonverbal tentang bagaimana orang memandang, menggunakan, atau merespons masalah waktu, tidak pernah disaring sepenuhnya saat berkomunikasi secara online.

Walther mengklaim bahwa, terkadang, pertukaran online sebenarnya melampaui kualitas komunikasi relasional yang tersedia ketika para pihak berbicara secara tatap muka.

VI. Perspektif hiperpersonal: Lebih dekat secara online dibandingkan secara langsung.

Walther menggunakan istilah hiperpersonal untuk menyebut hubungan online yang lebih intim dibandingkan jika pasangan secara fisik bersama. Dia mengklasifikasikan empat jenis efek media yang terjadi karena komunikator tidak bertatap muka dan memiliki isyarat nonverbal yang terbatas.

1. Pengirim: Presentasi diri selektif

Melalui presentasi diri yang selektif, orang-orang yang bertemu secara online mempunyai kesempatan untuk membuat dan mempertahankan kesan yang sangat positif. Ketika suatu hubungan berkembang, mereka dapat dengan hati-hati mengedit luas dan dalamnya keterbukaan diri mereka agar sesuai dengan citra dunia maya mereka, tanpa khawatir bahwa kebocoran nonverbal akan menghancurkan proyeksi kepribadian mereka.

2. Penerima: Atribusi kesamaan yang berlebihan

Atribusi adalah proses persepsi di mana kita mengamati tindakan seseorang dan mencoba mencari tahu seperti apa tindakan mereka sebenarnya. Jika tidak ada petunjuk lain, kita cenderung mengatribusikan informasi yang kita miliki secara berlebihan dan menciptakan gambaran ideal tentang pengirimnya.

3. Saluran: Berkomunikasi pada waktu Anda sendiri

Banyak bentuk komunikasi online merupakan saluran komunikasi yang tidak sinkron, yang berarti bahwa pihak-pihak dapat menggunakannya secara tidak bersamaan—pada waktu yang berbeda. Manfaatnya adalah kemampuan untuk mengedit ketika menghadapi masalah sensitif, kesalahpahaman, atau konflik antar pihak.

4. Umpan Balik: Ramalan yang terwujud dengan sendirinya

Ramalan yang terwujud dengan sendirinya (self-fulfilling prophecy) adalah kecenderungan pengharapan seseorang terhadap orang lain untuk menimbulkan tanggapan dari orang tersebut yang membenarkan apa yang telah diantisipasi. Self-fulfilling prophecy terpicu ketika gambaran hiperpositif secara sengaja atau tidak sengaja diumpankan kembali ke orang lain. Selain kencan online, Walther berpendapat bahwa komunikasi hiperpersonal dapat meningkatkan hubungan antar kelompok yang memiliki sejarah ketegangan dan konflik yang kuat, seperti Yahudi Israel dan Muslim Palestina. Berdasarkan penelitiannya, Walther menyarankan bahwa untuk meredakan ketegangan, komunikator harus fokus pada tugas-tugas umum daripada perbedaan kelompok, memberikan banyak waktu untuk berkomunikasi, dan secara eksklusif menggunakan saluran teks saja.

VII. Nilai jaminan informasi: Apa yang harus dipercaya?

Efek hiperpersonal tidak mungkin terjadi jika orang tidak percaya satu sama lain. Walther dan rekan-rekannya telah meneliti bagaimana orang mengevaluasi kredibilitas orang lain melalui media sosial. Situs media sosial menampilkan dua jenis informasi—yang dikontrol oleh pemilik profil dan di luar kendali langsung pemiliknya.

Walther’s menyelidiki nilai jaminan informasi pribadi, atau “sejauh mana suatu target… dianggap telah memanipulasi, mengendalikan, atau membentuk informasi yang berbatasan dengan target.”

Informasi dipercaya jika mempunyai nilai jaminan. Apakah profil online mereka sesuai dengan karakteristik offline mereka?

Seperti pesan email, yang isinya sepenuhnya berada di bawah kendali pengirim, informasi yang diposting oleh pemilik profil adalah informasi yang tidak terlalu terjamin karena dia dapat memanipulasinya dengan mudah. Karena pemilik profil tidak dapat dengan mudah memanipulasi apa yang diposting oleh teman-temannya, kami cenderung menerima informasi yang sangat terjamin sebagai kebenaran.

Walther yakin hal ini juga terjadi saat offline ketika kita mempertimbangkan perkataan orang lain secara berbeda. Eksperimen Walther menegaskan bahwa masyarakat mempercayai informasi yang sangat terjamin.

VIII. Kritik: Apakah ini berfungsi di luar lab?

Model hiperpersonal berusia lebih dari 20 tahun dan diciptakan untuk menggambarkan lingkungan online yang sudah tidak ada lagi. Namun hal ini tetap menjadi salah satu perspektif konseptual yang paling penting dan paling berguna untuk memahami komunikasi yang dimediasi teknologi. Teori yang relatif sederhana, yang didasarkan pada hipotesis yang dapat diuji, telah bekerja dengan baik dalam kondisi laboratorium penelitian kuantitatif yang terkendali. Ini secara konsisten menjelaskan data dan memprediksi hasil. Namun bagaimana dengan di luar laboratorium, dimana kehidupan sosial begitu kompleks? Beralih ke luar laboratorium, para peneliti mengharapkan validitas ekologis. Karya Erin Ruppel dan Bree McEwan mempertanyakan apakah prediksi teori tersebut berlaku dalam hubungan dunia nyata.

SIP tidak menjelaskan bagaimana orang menggunakan berbagai media untuk menjaga hubungan mereka. Dengan berfokus pada dasar-dasar proses komunikasi, Walther dan peneliti SIP lainnya telah meletakkan landasan yang kokoh.

Review dari

Griffin, EM. 2023. A First Look  at  Communication Theory.    11h    ed.    New York: McGraw Hill chapter 10  Social Information Processing Theory

Uncertainty Reduction Theory( Charles Berger )

•18 April 2024 • Tinggalkan sebuah Komentar

INTERPERSONAL COMMUNICATION: RELATIONSHIP DEVELOPMENT

I. Pendahuluan.

Tidak peduli seberapa dekat dua orang pada akhirnya, mereka selalu dimulai sebagai orang asing. Charles Berger mencatat bahwa awal dari hubungan pribadi penuh dengan ketidakpastian. Teori pengurangan ketidakpastian berfokus pada bagaimana komunikasi manusia digunakan untuk memperoleh pengetahuan dan menciptakan pemahaman. Salah satu dari tiga kondisi sebelumnya—antisipasi interaksi di masa depan, nilai insentif, atau penyimpangan—dapat meningkatkan upaya kita untuk mengurangi ketidakpastian.

II. Pengurangan ketidakpastian: Untuk memprediksi dan menjelaskan.

Penekanan Berger pada penjelasan (kesimpulan kita tentang mengapa orang melakukan apa yang mereka lakukan) berasal dari teori atribusi Fritz Heider. Setidaknya ada dua jenis ketidakpastian.

1. Pertanyaan perilaku, yang sering kali dikurangi dengan mengikuti protokol prosedural yang diterima.

2. Pertanyaan kognitif, yang direduksi dengan memperoleh informasi. Ketidakpastian kognitif adalah apa yang Berger atasi.

III. Teori aksiomatik: Kepastian tentang ketidakpastian.

Berger mengajukan serangkaian aksioma untuk menjelaskan hubungan antara ketidakpastian dan delapan variabel kunci. Aksioma secara tradisional dianggap sebagai kebenaran yang terbukti dengan sendirinya dan tidak memerlukan bukti tambahan.

1. Aksioma 1, komunikasi verbal: Ketika jumlah komunikasi verbal antara orang asing meningkat, tingkat ketidakpastian menurun, dan sebagai hasilnya, komunikasi verbal meningkat.

2. Aksioma 2, kehangatan nonverbal: Ketika ekspresi afiliatif nonverbal meningkat, tingkat ketidakpastian akan menurun. Penurunan tingkat ketidakpastian akan menyebabkan peningkatan kehangatan nonverbal.

3. Aksioma 3, pencarian informasi: Tingkat ketidakpastian yang tinggi menyebabkan peningkatan perilaku pencarian informasi. Ketika tingkat ketidakpastian menurun, perilaku pencarian informasi pun menurun.

4. Aksioma 4, keterbukaan diri: Tingginya tingkat ketidakpastian dalam suatu hubungan menyebabkan menurunnya tingkat keintiman isi komunikasi. Tingkat ketidakpastian yang rendah menghasilkan tingkat keintiman yang tinggi.

5. Aksioma 5, timbal balik: Tingkat ketidakpastian yang tinggi menghasilkan tingkat timbal balik yang tinggi. Tingkat ketidakpastian yang rendah menghasilkan tingkat timbal balik yang rendah.

6. Aksioma 6, kesamaan: Kesamaan antarmanusia mengurangi ketidakpastian, sedangkan ketidaksamaan menghasilkan peningkatan ketidakpastian.

7. Aksioma 7, kesukaan: Peningkatan tingkat ketidakpastian menghasilkan penurunan kesukaan; berkurangnya ketidakpastian menghasilkan peningkatan kesukaan.

8. Aksioma 8, jaringan bersama: Jaringan komunikasi bersama mengurangi ketidakpastian, sementara kurangnya jaringan bersama meningkatkan ketidakpastian.

IV. Teorema: Kekuatan logis dari aksioma ketidakpastian.

Melalui aksioma berpasangan, Berger menciptakan 28 teorema. 28 teorema ini menyarankan teori komprehensif tentang perkembangan interpersonal berdasarkan pentingnya mengurangi ketidakpastian dalam interaksi manusia.

V. Tiga isu menarik yang diangkat oleh URT

Ruang lingkup yang terbatas (pertemuan awal) dan bentuk aksiomatik teorinya merangsang pakar komunikasi lainnya untuk mengeksplorasi tiga pertanyaan yang mungkin juga terlintas di benak Anda.

Apakah pengurangan ketidakpastian bekerja dengan cara yang sama dalam situasi antar budaya?

1. Semakin besar kesenjangan budaya, semakin besar pula kompleksitas dan ketidakpastian awal bagi kedua belah pihak.

2. William Gudykunst mengajukan 47 aksioma yang menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpastian dalam pertemuan antar budaya termasuk motivasi, ekspektasi, empati, harga diri, toleransi terhadap ambiguitas, dan kemampuan memproses informasi yang kompleks.

3. Kontribusi terpenting Gudykunst dalam interaksi dengan orang asing adalah mengatasi pengurangan kecemasan dan ketidakpastian.

Bisakah ketidakpastian mendatangkan malapetaka dalam hubungan yang sedang berjalan?

Setelah fase awal, Leanne Knobloch mengemukakan bahwa ketidakpastian dalam hubungan dekat muncul dari apakah kita yakin dengan pikiran kita sendiri, pikiran orang lain, dan masa depan kita.

1. Campur tangan pasangan (di mana kita merasa dihalangi oleh pasangan kita dalam mencapai tujuan) dapat meningkatkan ketidakpastian,

2. Ketidakpastian dalam hubungan yang sedang berlangsung menyebabkan turbulensi relasional, yang diatasi melalui upaya langsung untuk menguranginya.

Ketika emosi memuncak, bagaimana orang mengelola ketidakpastian?

Walid Afifi mengatakan bahwa ketika masalah interpersonal benar-benar penting, kebanyakan orang pertama-tama mempertimbangkan kesenjangan antara apa yang mereka ketahui dan apa yang ingin mereka ketahui. Emosi yang dirangsang oleh kesenjangan ketidakpastian ini memaksa kita untuk merenungkan tiga pertanyaan tentang kemanjuran (coping, komunikasi, dan target).

VI. Mencari informasi untuk mengurangi ketidakpastian

Para ahli teori telah menguraikan empat pendekatan yang dapat kita gunakan untuk mengurangi ketidakpastian.

A. Dengan menggunakan strategi pasif, kita diam-diam mengamati orang lain dari jarak jauh.

B. Dalam strategi aktif, kita meminta informasi kepada pihak ketiga.

C. Dengan strategi interaktif, kita berbicara tatap muka dengan lawan bicara dan mengajukan pertanyaan spesifik.

D. Strategi ekstraktif melibatkan pencarian informasi secara online.

VII. Kritik: Keraguan yang mengganggu tentang ketidakpastian.

Teori pengurangan ketidakpastian Berger merupakan prototipe awal dari teori objektif yang seharusnya dan terus menginspirasi generasi sarjana baru saat ini. Meskipun banyak, aksioma dan teorema menawarkan hipotesis yang spesifik dan dapat diuji, mudah dipahami, dan menawarkan pendekatan pragmatis berdasarkan penelitian kuantitatif. Seperti yang diakui Berger sendiri, pernyataan aslinya mengandung beberapa proposisi yang validitasnya meragukan.

Kritikus seperti Kathy Kellermann menganggap teorema 17 sangat cacat. Struktur logis yang ketat dari teori ini tidak memungkinkan kita untuk menolak satu teorema tanpa mempertanyakan aksioma di baliknya. Dalam kasus teorema 17, aksioma 3 dan 7 juga harus dicurigai.

Kellermann dan Rodney Reynolds menantang asumsi motivasi aksioma 3. Mereka juga telah melemahkan klaim bahwa motivasi untuk mencari informasi meningkat dengan antisipasi interaksi di masa depan, nilai insentif, dan penyimpangan.

Michael Sunnafrank menantang klaim Berger bahwa pengurangan ketidakpastian adalah kunci untuk memahami pertemuan awal. Dia percaya bahwa nilai hasil yang diprediksi lebih akurat dalam menjelaskan komunikasi pada pertemuan awal.

Berger menegaskan bahwa Anda tidak dapat memprediksi nilai hasil sampai Anda mengurangi ketidakpastian. Walid Afifi menilai kedua teori tersebut terlalu sempit. Dalam teorinya tentang manajemen informasi yang termotivasi, dia menyatakan bahwa kita paling termotivasi untuk mengurangi kecemasan daripada ketidakpastian.

Terlepas dari permasalahan ini, teori Berger telah mendorong banyak diskusi dalam disiplin ilmu ini.

Review dari Griffin, EM. 2019. A First Look  at  Communication Theory.    10th    ed.    New York: McGraw Hill chapter 9 Uncertainty Reduction Theory

Communication Privacy Management Theory( Sandra Petronio )

•17 April 2024 • Tinggalkan sebuah Komentar

INTERPERSONAL COMMUNICATION: RELATIONSHIP MAINTENANCE

I. Pendahuluan.

Petronio melihat teori manajemen privasi komunikasi sebagai gambaran tentang bagaimana orang menangani informasi pribadi mereka. Daripada berbicara tentang keterbukaan diri seperti yang dilakukan banyak ahli teori relasional, Petronio mengacu pada keterbukaan informasi pribadi. Banyak informasi pribadi yang kita sampaikan kepada orang lain bukan tentang diri kita sendiri. Pengungkapan diri biasanya diasosiasikan dengan keintiman, namun terdapat motif lain dalam pengungkapan diri. Keterbukaan informasi pribadi berkonotasi netral, sedangkan keterbukaan diri mempunyai kesan positif. Ini menarik perhatian pada isi perkataan dan bagaimana orang kepercayaan menanggapinya.

II. Kepemilikan dan kendali atas informasi pribadi: Orang-orang yakin bahwa mereka memiliki dan berhak mengendalikan informasi pribadi mereka.

  1.  Kita menganggap informasi pribadi sebagai milik kami.

Petronio mendefinisikan privasi sebagai “perasaan bahwa seseorang mempunyai hak untuk memiliki informasi pribadi.” Tidak masalah apakah persepsi kepemilikan itu akurat.

  • Kepemilikan menyampaikan hak dan kewajiban.

Privasi meningkatkan rasa otonomi kita dan membuat kita merasa tidak terlalu rentan. Rasa kepemilikan memotivasi kita untuk menciptakan batasan yang akan mengendalikan penyebaran pengetahuan kita.

III. Aturan untuk menyembunyikan dan mengungkapkan: Orang mengontrol informasi pribadi mereka melalui penggunaan aturan privasi pribadi.

Cara mudah untuk memahami maksudnya adalah dengan mengingat bahwa orang biasanya memiliki aturan dalam mengelola informasi pribadi mereka.

Ada lima faktor yang berperan dalam pengembangan aturan privasi unik seseorang termasuk budaya, gender, motivasi, konteks, dan rasio risiko/manfaat.

1. Budaya berbeda dalam hal nilai keterbukaan dan keterbukaan.

2. Sehubungan dengan gender, kebijaksanaan populer menyatakan bahwa perempuan lebih banyak mengungkapkan informasi dibandingkan laki-laki, namun penelitian mengenai isu ini masih beragam. Baik laki-laki maupun perempuan akan lebih mudah mengungkapkan informasi pribadi kepada perempuan.

3. Petronio menekankan ketertarikan dan rasa suka sebagai motif antarpribadi yang dapat melonggarkan batasan privasi yang tidak dapat dilanggar.

4. Peristiwa traumatis dapat mengganggu pengaruh budaya, gender, dan motivasi untuk sementara atau permanen ketika orang menyusun aturan privasi mereka.

5. Rasio risiko/manfaat menghitung pengungkapan dan penyembunyian informasi pribadi.

IV. Pengungkapan menciptakan orang kepercayaan dan pemilik bersama: Ketika orang lain diberi tahu atau menemukan informasi pribadi seseorang, mereka menjadi pemilik bersama atas informasi tersebut.

Tindakan mengungkapkan informasi pribadi menciptakan orang kepercayaan dan menarik orang tersebut ke dalam batasan privasi kolektif, baik secara sukarela atau dengan sedikit keterpaksaan.

Mengungkapkan informasi kepada orang lain menghasilkan kepemilikan bersama. Pengungkap harus menyadari bahwa batasan privasi pribadi telah berubah menjadi batasan kolektif yang jarang menyusut kembali menjadi batasan pribadi semata. Sebagai pemilik bersama, masyarakat cenderung merasa bertanggung jawab atas informasi tersebut, meskipun tidak selalu sama. Mereka yang mendapat informasi tersebut mungkin akan lebih santai dalam melindunginya.

V. Mengkoordinasikan batas-batas privasi bersama: Pemilik informasi pribadi perlu menegosiasikan aturan privasi yang disepakati bersama dalam hal memberi tahu orang lain.

Prinsip keempat CPM yang penting inilah yang mengubah Petronio dari deskriptif menjadi preskriptif. Dengan asumsi batasan privasi yang ditetapkan oleh pemilik bersama di sekitar informasi berbeda, pemilik bersama harus menegosiasikan batasan privasi bersama—batas kolektif yang dibentuk bersama oleh orang-orang. Kepemilikan batas adalah hak dan tanggung jawab yang dimiliki oleh pemilik informasi pribadi untuk mengendalikan penyebarannya.

Tidak semua kepemilikan batas adalah 50-50. Orang kepercayaan yang disengaja adalah seseorang yang dengan sengaja mencari informasi pribadi, dan sering kali semakin mereka ingin dipercaya, semakin kecil kendali yang mereka miliki atas apa yang mereka dengar. Orang kepercayaan yang enggan untuk tidak menginginkan pengungkapan tersebut, tidak mengharapkannya, mungkin menganggap informasi yang diungkapkan sebagai beban yang tidak diinginkan, dan sering kali hanya merasakan rasa tanggung jawab yang samar-samar terhadap informasi yang diungkapkan, sehingga mengurangi kewajiban untuk mengikuti pedoman privasi. pengungkap. Pemegang saham adalah seseorang yang mempunyai hak penuh untuk menyimpan informasi sesuai dengan aturan pemilik aslinya. Pemangku kepentingan adalah seseorang yang dianggap berhak mendapatkan akses dan kendali.

IV. Tautan batas adalah proses menghubungkan orang kepercayaan ke dalam batas privasi orang yang mengungkapkan informasi tersebut.

Ketika pengungkap dan penerima mempunyai hubungan dekat, penerima akan lebih mungkin menerima informasi baru sesuai dengan keinginan pengungkap. Salah satu motif untuk menciptakan keterkaitan batasan lebih lanjut adalah keinginan akan dukungan sosial untuk mengatasi informasi yang sulit.

E. Permeabilitas batas—Berapa banyak informasi yang dapat mengalir?

Hambatan informasi bisa bersifat tertutup, tebal, atau diregangkan ketat sehingga hanya sedikit informasi yang dapat melewatinya, atau batasan dapat bersifat terbuka, tipis, atau longgar sehingga memungkinkan informasi dapat dengan mudah melewatinya. Permeabilitas adalah masalah derajat.

Turbulensi batas adalah “gangguan pada cara pemilik bersama mengontrol dan mengatur aliran informasi pribadi ke pihak ketiga.” Turbulensi dapat mengubah hubungan kita secara radikal melalui pengaruhnya terhadap pikiran, perasaan, dan tindakan kita. Petronio memperkirakan bahwa masyarakat bereaksi terhadap turbulensi dalam upaya mengatur hubungan yang terganggu yang diakibatkannya. Batasan kabur terjadi ketika tidak ada batasan bersama yang diakui, dalam hal ini orang kepercayaan menggunakan aturan privasi mereka sendiri untuk memandu apa yang mereka katakan kepada orang lain. Pelanggaran yang disengaja terjadi ketika orang kepercayaan dengan sengaja mengungkapkan rahasia yang mereka tahu tidak ingin dibagikan oleh pemilik aslinya.

1. Mereka mungkin melakukannya dengan sengaja menyakiti pemilik aslinya atau hanya karena melakukan hal tersebut demi keuntungan pribadi mereka.

2. Dilema kerahasiaan terjadi ketika orang kepercayaan harus melanggar batasan privasi kolektif demi meningkatkan kesejahteraan pemilik asli

F. Tidak semua turbulensi batas dan relasional berasal dari aturan privasi yang tidak sinkron atau pelanggaran batas yang disengaja.

Kadang-kadang orang menciptakan kekacauan karena melakukan kesalahan, seperti membocorkan rahasia ketika penjagaannya melemah atau sekadar lupa siapa yang mungkin memiliki akses terhadap informasi tersebut. Kesalahan penilaian terjadi ketika seseorang membicarakan kasus pribadi di tempat umum. Kesalahan perhitungan waktu dapat menyebabkan turbulensi ketika informasi diungkapkan pada waktu yang tidak tepat.

VII. Kritik: Diagnosis yang tajam, resep yang bagus, atau  proses penyembuhan?

CPM memenuhi lima dari enam kriteria teori penafsiran yang baik. Hal ini memberikan nilai yang baik dalam memberikan pemahaman baru tentang masyarakat, didukung oleh penelitian kualitatif yang baik, dukungan dari komunitas yang sepakat, memperjelas privasi sebagai sebuah nilai, dan menyerukan reformasi (walaupun hal ini agak berlebihan). CPM kurang memiliki daya tarik estetis, baik dalam gaya maupun kejelasan. Kesenjangan dalam teori ini adalah bahwa Petronio tidak memberikan wawasan tentang bagaimana melakukan negosiasi atau menawarkan solusi ketika terjadi turbulensi perbatasan. Selama 35 tahun bekerja dengan teori tersebut, dia mengakui ambiguitas teori tersebut dan mengemas ulang berbagai hal untuk meningkatkan kejelasan.

Review dari Griffin, EM. 2019. A First Look  at  Communication Theory.    10th    ed.    New York: McGraw Hill chapter 12  :  Communication Privacy Management Theory

Serial OBE : Mengapa Perlu  Menerapkan  Pembelajaran Yang Bersifat Partisipatif dan Kolaboratif (CBL dan PjBL) ?

•16 April 2024 • Tinggalkan sebuah Komentar

Pendahuluan

Judul di atas sekaligus adalah sebuah pertanyaan yang menuntut argumentasi pentingnya menggunakan pembelajaran yang berbasis partisipatif dan kolaboratif (misal CBL dan PjBL ) ketika kita mencoba menerapkan kurikulum perguruan tinggi berbasis OBE. Uraian yang mencoba komprehensif ini  berusaha mengulasnya dengan merunut balik pada pergeseran paradigma pendidikan yang terjadi di dunia hingga sampai pada konsep pembelajaran yang menuntut bersifat partisipatif dan kolaboratif itu.

Pembelajaran Yang Bersifat Partisipatif dan Kolaboratif (CBL dan PjBL)

Berikut adalah beberapa argumen yang menjadi  pertimbangan:

  1. Mendorong Keterlibatan Aktif: Pembelajaran partisipatif dan kolaboratif memungkinkan mahasiswa untuk terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran. Dengan memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk berpartisipasi dalam diskusi, proyek kelompok, dan aktivitas kolaboratif lainnya, mereka dapat lebih aktif terlibat dalam memahami materi dan menginternalisasikannya.
  2. Pengembangan Keterampilan Soft Skills: Pembelajaran kolaboratif memungkinkan mahasiswa untuk mengembangkan keterampilan interpersonal, kepemimpinan, kerja tim, dan komunikasi yang sangat dibutuhkan dalam lingkungan profesional. Dalam konteks OBE, ini penting karena OBE juga menekankan pengembangan keterampilan dan kompetensi di luar pengetahuan murni.
  3. Mendorong Pemahaman yang Mendalam: Melalui kolaborasi dengan sesama mahasiswa, mereka dapat saling mengoreksi, membantu, dan mendukung satu sama lain dalam memahami konsep-konsep yang rumit. Diskusi kelompok dan proyek kolaboratif dapat membuka sudut pandang baru dan mendorong pemahaman yang lebih mendalam atas materi pembelajaran.
  4. Persiapan untuk Dunia Nyata: Di dunia nyata, kemampuan untuk bekerja dalam tim dan berkolaborasi dengan orang lain adalah keterampilan yang sangat dihargai oleh majikan. Dengan mengimplementasikan pembelajaran yang kolaboratif, mahasiswa akan lebih siap untuk sukses di lingkungan kerja yang memerlukan kerja tim dan kolaborasi.
  5. Memperluas Kreativitas dan Inovasi: Kolaborasi antara mahasiswa dapat menghasilkan ide-ide baru dan solusi yang inovatif untuk masalah yang kompleks. Dalam pembelajaran berbasis OBE, di mana penerapan konsep dan pemecahan masalah adalah kunci, memfasilitasi kolaborasi dapat memperluas kreativitas dan inovasi mahasiswa.
  6. Mempromosikan Toleransi dan Penghargaan terhadap Keanekaragaman: Dalam lingkungan pembelajaran yang kolaboratif, mahasiswa akan berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki latar belakang, keyakinan, dan pengalaman yang berbeda. Ini dapat membantu mempromosikan toleransi, penghargaan terhadap keanekaragaman, serta pemahaman yang lebih baik tentang perspektif orang lain.
  7. Responsif terhadap Tuntutan Pasar Kerja: Dalam era yang terus berubah, pasar kerja semakin menuntut individu yang memiliki keterampilan berkolaborasi dan adaptabilitas. Dengan menanamkan pembelajaran kolaboratif dalam kurikulum OBE, lembaga pendidikan tinggi dapat memberikan mahasiswa dengan keterampilan yang dibutuhkan untuk sukses di pasar kerja yang dinamis.

Education- A Paradigm Shift

Untuk dapat menerapkan metode pembelakarn yang berbasis partisipatif dan kolabaratif ( misalnya dengan model CBL dan PjBL)  sudah tentu membutuhkan persiapan dan strategi. .Namun sesungguhnya, upaya di atas harus dimulai terlebih dahulu dari kita sebagai pengajar ( lebih berfungsi fasilitator sebenarnya daripada pengajar dalam konteks ini) yaitu dengan memahami pergeseran paradigma Pendidikan (Education- A Paradigm Shift) yang tengah terjadi di dunia saat ini.

Pergeseran paradigma pendidikan (Education-A Paradigm Shift) adalah konsep yang mengacu pada transformasi mendasar dalam cara pendidikan dirancang, disampaikan, dan dievaluasi. Ini melibatkan perubahan dari paradigma tradisional pendidikan yang berpusat pada proses dan isi (teacher-centered) menjadi paradigma yang berpusat pada hasil dan kompetensi (student-centered), yang sering kali diwakili oleh pendekatan berbasis Outcome-Based Education (OBE).

Berikut adalah beberapa aspek umum  dari Education-A Paradigm Shift:

  1. Pergeseran dari Guru ke Siswa: Tradisionalnya, pendidikan seringkali berpusat pada peran guru sebagai sumber utama pengetahuan dan otoritas dalam pembelajaran. Namun, dalam pendekatan berbasis hasil seperti OBE, perhatian utama diberikan kepada kebutuhan dan kemajuan siswa. Siswa dilihat sebagai agen aktif dalam pembelajaran mereka sendiri, dengan peran guru lebih sebagai fasilitator dan pembimbing.
  2. Fokus pada Kompetensi dan Hasil: Paradigma baru pendidikan menekankan pentingnya mengidentifikasi tujuan pembelajaran yang jelas dan spesifik, serta mengukur pencapaian siswa berdasarkan hasil yang diinginkan. Ini mencakup pengembangan kompetensi kritis, kreatif, dan kolaboratif yang relevan dengan kebutuhan dunia nyata.
  3. Penilaian yang Berorientasi pada Hasil: Pergeseran paradigma juga mempengaruhi cara penilaian dilakukan. Sementara pendidikan tradisional sering kali menggunakan tes dan ujian untuk mengevaluasi pemahaman siswa, pendekatan berbasis hasil lebih cenderung menggunakan penilaian yang berfokus pada pencapaian kompetensi dan penerapan pengetahuan dalam konteks nyata.
  4. Penggunaan Teknologi dan Inovasi: Education-A Paradigm Shift juga mendorong penggunaan teknologi dan inovasi dalam proses pembelajaran. Ini termasuk pemanfaatan platform pembelajaran digital, aplikasi mobile, dan alat-alat pembelajaran interaktif lainnya yang memfasilitasi pembelajaran yang berpusat pada siswa dan memungkinkan personalisasi pembelajaran.
  5. Keterlibatan dan Partisipasi Siswa: Salah satu aspek kunci dari pergeseran paradigma adalah meningkatkan keterlibatan dan partisipasi siswa dalam proses pembelajaran. Ini dapat dicapai melalui pendekatan pembelajaran aktif, proyek kolaboratif, diskusi kelompok, dan pengalaman belajar yang berpusat pada masalah.
  6. Pembelajaran seumur Hidup: Paradigma baru pendidikan juga menekankan pentingnya pembelajaran seumur hidup (lifelong learning) sebagai respons terhadap perubahan yang cepat dalam lingkungan sosial, ekonomi, dan teknologi. Ini mendorong pembelajaran yang berkelanjutan dan fleksibel yang dapat mengakomodasi kebutuhan individu sepanjang hidup mereka.

From Education 1.0 to Education 4.0

Selain mencoba memahami pergeseran paradigma pendidikan itu melalui identifikasi ciri-ciri umumnya di atas, kita bisa juga membahas lebih rinci dengan mengenali karakteristik Pendidikan mulai dari Education 1.0 hingga Education 4.0

Education 1.0 ( Pedagogy)

Education 1.0, yang sering disebut sebagai Pedagogy, merujuk pada pendekatan tradisional dalam pendidikan yang berfokus pada peran guru sebagai sumber utama pengetahuan dan otoritas dalam pembelajaran. Berikut adalah beberapa ciri-ciri pendekatan Pedagogy atau Education 1.0:

  1. Guru sebagai Pusat: Dalam pendekatan Pedagogy, guru ditempatkan sebagai pusat dalam proses pembelajaran. Mereka berperan sebagai pemimpin kelas yang memberikan instruksi, menerangkan konsep, dan memberikan pengetahuan kepada siswa.
  2. Pembelajaran Berorientasi pada Guru: Fokus utama pendekatan Pedagogy adalah pada pengajaran oleh guru, dengan penekanan pada pengiriman materi kurikulum kepada siswa. Siswa dianggap sebagai penerima pasif dari informasi yang disampaikan oleh guru.
  3. Penekanan pada Pemahaman Konsep: Education 1.0 cenderung menekankan pada pemahaman konsep dan fakta, dengan fokus pada menguasai materi kurikulum yang telah ditetapkan. Tes dan ujian sering digunakan untuk mengukur pemahaman siswa terhadap materi.
  4. Model Pembelajaran Tidak Interaktif: Pembelajaran dalam pendekatan Pedagogy sering kali bersifat satu arah, dengan guru yang menyampaikan informasi kepada siswa dan siswa yang mendengarkan. Interaksi antara guru dan siswa terbatas, dan siswa memiliki sedikit kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses pembelajaran.
  5. Kurikulum yang Ditentukan di Awal: Dalam pendekatan Pedagogy, kurikulum dan materi pembelajaran ditentukan di awal oleh pihak otoritas pendidikan, seperti departemen pendidikan atau kurikulum sekolah. Kurikulum ini sering kali bersifat standar dan tidak fleksibel.
  6. Penilaian Tradisional: Penilaian dalam pendekatan Pedagogy sering kali didasarkan pada tes dan ujian yang mengevaluasi pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran. Hasil penilaian digunakan untuk menentukan apakah siswa berhasil atau tidak dalam memahami konsep yang diajarkan.
  7. Fokus pada Kelas dan Guru: Pendidikan 1.0 cenderung memusatkan perhatian pada kelas dan guru, dengan sedikit perhatian terhadap kebutuhan individual siswa. Pengajaran dilakukan dalam skala kelas yang besar, dan guru bertanggung jawab atas kemajuan belajar seluruh kelas.

Education 2.0  (Andragogy)

Education 2.0, yang sering disebut sebagai Andragogy, merupakan pendekatan pendidikan yang lebih berpusat pada siswa dan memperhatikan kebutuhan dan karakteristik khusus dari peserta didik dewasa. Berikut adalah beberapa ciri-ciri pendekatan Andragogy atau Education 2.0:

  1. Pusat pada Siswa: Dalam pendekatan Andragogy, siswa ditempatkan sebagai pusat dalam proses pembelajaran. Pendekatan ini mengakui bahwa siswa dewasa memiliki pengalaman, kebutuhan, dan tujuan belajar yang unik, sehingga mereka lebih aktif terlibat dalam merencanakan, mengelola, dan mengevaluasi pembelajaran mereka sendiri.
  2. Pembelajaran Berorientasi pada Siswa: Education 2.0 menempatkan penekanan pada pembelajaran yang dipimpin oleh siswa, dengan fokus pada memfasilitasi pembelajaran yang berpusat pada kebutuhan, minat, dan pengalaman siswa. Siswa diharapkan untuk mengambil peran aktif dalam merancang dan mengelola pembelajaran mereka sendiri.
  3. Pendekatan Interaktif: Pembelajaran dalam pendekatan Andragogy cenderung bersifat interaktif, dengan penggunaan teknologi, diskusi kelompok, dan proyek kolaboratif untuk mendorong keterlibatan siswa. Interaksi antara siswa dan fasilitator pembelajaran (bukan hanya guru) menjadi penting dalam memfasilitasi proses belajar.
  4. Penekanan pada Pembelajaran Seumur Hidup: Andragogy mengakui pentingnya pembelajaran seumur hidup dan mengembangkan keterampilan belajar mandiri yang diperlukan untuk menghadapi perubahan dan tantangan di lingkungan kerja yang dinamis.
  5. Pembelajaran Berbasis Masalah: Pendekatan Andragogy mendorong penggunaan pembelajaran berbasis masalah, di mana siswa didorong untuk menemukan solusi untuk masalah dunia nyata yang relevan dengan konteks mereka. Ini memungkinkan siswa untuk menghubungkan teori dengan praktik, serta mengembangkan keterampilan pemecahan masalah.
  6. Penilaian Formatif dan Pembelajaran: Education 2.0 menekankan pentingnya penilaian formatif yang berkelanjutan dan responsif, yang memungkinkan siswa untuk memantau kemajuan mereka, menerima umpan balik, dan melakukan perbaikan saat diperlukan. Pendekatan ini memandang kesalahan sebagai peluang untuk belajar dan berkembang.
  7. Fasilitator Pembelajaran sebagai Mitra: Fasilitator pembelajaran dalam pendekatan Andragogy berperan sebagai mitra dalam proses pembelajaran, bukan sebagai sumber utama pengetahuan atau otoritas. Mereka mendukung, memfasilitasi, dan memberikan bimbingan kepada siswa dalam mencapai tujuan belajar mereka.

Education 3.0

Antara Education 3.0 dengan 2.0 mungkin agak sulit dibedakan, karena keduanya memang berada dalam ranah Andragogy,  namun kalau kita sandingkan ada beberapa penekanan yang berbeda utamanya dilihat dari posisi siswa sebagai pembelajar, peran fasilitator dan penggunaan teknologi sebagai alat bantu pembelajaran. Berikut kita bahas perbedaannya.

Perbedaan antara Education 2.0 dan Education 3.0:

  1. Orientasi Pada Pembelajar:
  • Education 2.0 (Andragogy): Pendekatan ini berpusat pada siswa, mengakui bahwa siswa memiliki kebutuhan, minat, dan tujuan belajar yang unik. Siswa diberdayakan untuk mengambil peran aktif dalam merencanakan, mengelola, dan mengevaluasi pembelajaran mereka sendiri.
  • Education 3.0: Lebih dari sekadar berpusat pada siswa, Education 3.0 menggeser fokus dari pembelajaran individual ke pembelajaran kolaboratif dan kemitraan antara pembelajar. Ini menekankan kolaborasi, keterlibatan masyarakat, dan kontribusi aktif siswa dalam menciptakan dan membagikan pengetahuan.
  1. Peran Fasilitator Pembelajaran:
  • Education 2.0 (Andragogy): Fasilitator pembelajaran berperan sebagai mitra dalam proses pembelajaran, mendukung dan memfasilitasi siswa dalam mencapai tujuan belajar mereka. Mereka memainkan peran penting dalam memberikan bimbingan dan umpan balik kepada siswa.
  • Education 3.0: Fasilitator pembelajaran bertindak sebagai kurator pengetahuan dan penghubung, memfasilitasi kolaborasi antara siswa, pakar, dan komunitas. Mereka mendukung siswa dalam menjelajahi sumber daya dan mengembangkan koneksi dengan pengetahuan di luar kelas.
  1. Pembelajaran Kolaboratif:
  • Education 2.0 (Andragogy): Meskipun pendekatan Andragogy mendorong pembelajaran yang interaktif dan kolaboratif, fokusnya lebih pada keterlibatan siswa secara mandiri dalam merencanakan dan mengelola pembelajaran mereka sendiri.
  • Education 3.0: Pembelajaran kolaboratif menjadi pusat dalam pendekatan ini, dengan penekanan pada kerja tim, berbagi pengetahuan, dan penciptaan bersama. Siswa didorong untuk berkolaborasi dengan sesama siswa, pengajar, dan anggota masyarakat untuk mencapai tujuan pembelajaran.
  1. Penggunaan Teknologi:
  • Education 2.0 (Andragogy): Teknologi digunakan sebagai alat bantu dalam memfasilitasi pembelajaran yang berpusat pada siswa. Ini termasuk penggunaan platform pembelajaran digital, aplikasi mobile, dan alat interaktif lainnya.
  • Education 3.0: Teknologi diintegrasikan secara luas sebagai bagian dari pengalaman pembelajaran, tetapi dengan penekanan pada penggunaan teknologi yang memfasilitasi kolaborasi, koneksi, dan penciptaan konten oleh siswa.

Education 4.0 (Heutagogy)

Education 4.0, yang sering disebut sebagai Heutagogy, adalah pendekatan pendidikan yang mengarah pada pemberdayaan penuh pembelajar untuk mengelola pembelajaran mereka sendiri dan menjadi pencipta pengetahuan. Heutagogy mendorong pembelajar untuk mengembangkan kemampuan belajar mandiri, refleksi diri, dan kepemimpinan dalam mengarahkan proses pembelajaran mereka sendiri. Berikut adalah penjelasan detail mengenai Heutagogy:

  1. Pemberdayaan Pembelajar: Heutagogy mengutamakan pemberdayaan penuh pembelajar. Ini berarti memberikan kontrol penuh kepada pembelajar untuk merencanakan, mengatur, dan mengevaluasi pembelajaran mereka sendiri. Pembelajar diberi kebebasan untuk menentukan jalannya pembelajaran dan mengambil tanggung jawab atas hasilnya ( Personalized Learning )
  2. Belajar Mandiri: Heutagogy menekankan pengembangan keterampilan belajar mandiri yang kuat pada pembelajar. Hal ini melibatkan kemampuan untuk mengidentifikasi kebutuhan belajar sendiri, mencari sumber daya, merancang strategi pembelajaran, dan mengukur kemajuan secara mandiri serta menimbang nilai-nilai yang dikandung dalam proses pembelajaran  (Curriculum: Flexible, Adopted & Collaborative )
  3. Pembelajaran Berbasis Pengalaman: Heutagogy memanfaatkan pengalaman pembelajar sebagai titik awal dalam proses pembelajaran. Pembelajar didorong untuk memanfaatkan pengalaman pribadi mereka, baik dari lingkungan akademik maupun profesional, untuk membangun pengetahuan baru dan mengaitkannya dengan konsep yang dipelajari (Experiental Learning)
  4. Pembelajaran Seumur Hidup: Heutagogy mengakui pentingnya pembelajaran seumur hidup dalam menghadapi perubahan yang cepat dalam dunia saat ini. Pembelajar diharapkan untuk terus belajar dan mengembangkan keterampilan baru sepanjang hidup mereka, dengan menjadi agen aktif dalam mengelola perjalanan pembelajaran mereka.
  5. Pembelajaran Kolaboratif dan Jaringan: Meskipun fokus pada belajar mandiri, Heutagogy juga mempromosikan pembelajaran kolaboratif dan berbagi pengetahuan antara pembelajar. Ini melibatkan pembelajar dalam jaringan dan komunitas belajar yang memungkinkan pertukaran ide, pengalaman, dan pengetahuan.( Connected, Big data & AI)
  6. Refleksi dan Metakognisi: Pembelajar dalam pendekatan Heutagogy didorong untuk melakukan refleksi diri secara teratur tentang proses pembelajaran mereka. Ini melibatkan pemantauan dan evaluasi diri, serta pengembangan keterampilan metakognisi untuk memahami dan mengatur strategi pembelajaran mereka. ( Capability & Values- Based learning)
  7. Penerapan Teknologi: Heutagogy memanfaatkan teknologi untuk mendukung pembelajaran yang mandiri dan kolaboratif. Ini mencakup penggunaan platform pembelajaran digital, sumber daya online, media sosial, dan alat-alat interaktif lainnya yang memfasilitasi akses ke pengetahuan dan interaksi dengan sesama pembelajar. (Smart technology_digitized & virtual classrooms; Transformation & Etic Digital)

(Bersambung )

Selanjutnya disilakan pembaca untuk mendalami lebih jauh beberapa referensi yang kami rekomendasikan di bawah ini :

  1. “Pedagogy of the Oppressed” oleh Paulo Freire ( 1972)  dalam https://www.researchgate.net/publication/260297860_Paulo_Freire’s_Pedagogy_of_the_Oppressed
  2. “Andragogy in Action: Applying Modern Principles of Adult Learning” oleh Malcom S. Knowles
  3. “Education 3.0: Seven Steps to Better Schools” oleh Sean Tierney
  4. “Heutagogy and Lifelong Learning: A Review of Heutagogical Practice and Self-Determined Learning” oleh Lisa Marie Blaschke, Chris Kenyon, dan Stewart Hase (2014) dalam https://www.researchgate.net/publication/241891015_Heutagogy_and_Lifelong_Learning_A_Review_of_Heutagogical_Practice_and_Self-Determined_Learning

5. “Outcome-Based Education: Critical Issues and Answers” oleh William Spady:

6. “The Complete Guide to OBE: Outcome-Based Education” oleh M. David Merrill

7 “Outcome-Based Education: A Debate” oleh William Spady dan Dennis J. Littky

Social Penetration Theory ( Irwin Altman & Dalmas Taylor )

•16 April 2024 • Tinggalkan sebuah Komentar

INTERPERSONAL COMMUNICATION: RELATIONSHIP DEVELOPMENT

I. Pendahuluan.

Dikembangkan oleh psikolog sosial Irwin Altman dan Dalmas Taylor, teori penetrasi sosial menjelaskan bagaimana kedekatan relasional berkembang. Kedekatan berkembang hanya jika individu melanjutkan secara bertahap dan teratur dari tingkat pertukaran yang dangkal ke tingkat yang intim sebagai fungsi dari hasil yang segera dan yang dapat diperkirakan.

II. Struktur kepribadian: bawang berlapis-lapis.

A. Lapisan terluar adalah diri publik.

B. Inti batin adalah wilayah pribadi seseorang.

III. Kedekatan melalui keterbukaan diri.

Jalan utama menuju penetrasi sosial yang mendalam adalah melalui keterbukaan diri secara verbal. Dalam model irisan bawang (onion-wedge), kedalaman penetrasi menunjukkan tingkat keterbukaan pribadi. (analogi : Lapisan bawang lebih keras dan terbungkus lebih rapat di dekat bagian tengahnya.)

IV. Kedalaman dan luasnya keterbukaan diri.

Hal hal yang sifatnya periferal dipertukarkan lebih sering dan lebih cepat daripada informasi pribadi. Pengungkapan diri bersifat timbal balik, terutama pada tahap awal perkembangan hubungan. Penetrasinya cepat pada awalnya tetapi melambat dengan cepat ketika lapisan dalam yang terbungkus rapat tercapai.

1. Norma masyarakat mencegah terlalu banyak keterbukaan diri dini.

2. Kebanyakan hubungan terhenti sebelum pertukaran intim yang stabil terjalin.

3. Pertukaran intim yang tulus jarang terjadi, namun jika hal ini tercapai, hubungan menjadi bermakna dan bertahan lama.

4. Berbagi narasi pribadi, yang cenderung berisi cerita yang terstruktur dengan cermat, emosi yang lebih dalam, dan lebih detail dibandingkan informasi lain yang dibagikan, adalah jalan cepat menuju ikatan yang lebih kuat.

Depenetrasi adalah proses penarikan lapisan demi lapisan secara bertahap. Untuk keintiman sejati, kedalaman dan luasnya penetrasi sama pentingnya.

V. Mengatur kedekatan berdasarkan imbalan dan biaya.

Teori penetrasi sosial banyak mengacu pada Teori Pertukaran Sosial John Thibaut dan Harold Kelley. Jika manfaat bersama lebih besar dibandingkan kerugian akibat kerentanan yang lebih besar, maka proses penetrasi sosial akan berlanjut. Tiga konsep penting adalah: hasil relasional; kepuasan relasional; dan stabilitas relasional.

VI. Hasil relasional: Imbalan dikurangi biaya.

A. Thibaut dan Kelley menyarankan agar orang mencoba memprediksi hasil suatu interaksi sebelum interaksi itu terjadi.

1. Pendekatan ekonomi untuk menentukan perilaku berasal dari prinsip utilitas John Stuart Mill.

2. Prinsip minimax perilaku manusia menyatakan bahwa manusia berupaya memaksimalkan manfaat dan meminimalkan biaya.

3. Semakin tinggi kita mengindeks suatu hasil relasional, semakin menarik perilaku yang mungkin mewujudkannya.

B. Teori pertukaran sosial berasumsi bahwa masyarakat dapat secara akurat mengukur manfaat dari tindakan mereka dan membuat pilihan yang masuk akal berdasarkan prediksi mereka.

C. Seiring berkembangnya hubungan, sifat interaksi yang menurut teman bermanfaat pun ikut berkembang.

VII. Tingkat perbandingan (Comparison Level / CL): Mengukur kepuasan relasional.

CL seseorang adalah ambang batas di mana suatu hasil tampak menarik. Sejarah relasional kita membentuk CL kita untuk persahabatan, romansa, atau ikatan keluarga. Urutan dan tren memainkan peran besar dalam mengevaluasi suatu hubungan.

VIII. Tingkat perbandingan alternatif (CLalt): Mengukur stabilitas relasional.

CLalt adalah hasil relasional terbaik yang tersedia saat ini di luar hubungan. Meskipun CL seseorang relatif stabil dari waktu ke waktu, CLalt membandingkan opsi pada saat ini. Ketika hasil saat ini turun di bawah CAlt yang ditetapkan, ketidakstabilan relasional meningkat. Teori pertukaran sosial memiliki orientasi ekonomi.

CLalt menjelaskan mengapa orang terkadang tetap berada dalam hubungan yang tidak memuaskan.

1. Beberapa perempuan mengalami pelecehan karena Hasil > CAlt.

2. Mereka akan keluar hanya jika CAlt > Hasil.

Nilai relatif dari Hasil, CL, dan CAlt membantu menentukan kesediaan seseorang untuk mengungkapkan.

Pengungkapan yang optimal akan terjadi bila kedua belah pihak yakin bahwa Hasil > CAlt > CL.

Suatu hubungan bisa lebih dari sekedar memuaskan jika stabil, namun pilihan lain yang memuaskan juga tersedia (jika hubungan ini berubah menjadi buruk).

IX. Refleksi etis: egoisme etis Epicurus.

Dalam psikologis “Egoisme”  mencerminkan keyakinan banyak ilmuwan sosial bahwa kita semua dimotivasi oleh kepentingan pribadi. Egoisme etis menyatakan bahwa kita harus bertindak egois. Epicurus menekankan kesenangan pasif dari persahabatan, pencernaan yang baik, dan yang terpenting, tidak adanya rasa sakit. Filsuf lain (Thomas Hobbes, Adam Smith, Friedrich Nietzsche, Ayn Rand) menggemakan seruan Epicurean untuk mementingkan diri sendiri.

X. Dialektika dan lingkungan.

Altman awalnya berpendapat bahwa keterbukaan adalah kualitas utama perubahan hubungan. Keinginan akan privasi mungkin menghalangi pencarian keintiman yang searah. Model dialektis mengemukakan bahwa hubungan sosial manusia dicirikan oleh keterbukaan atau kontak dan ketertutupan atau keterpisahan antar partisipan. Altman juga mengidentifikasi lingkungan sebagai isyarat heuristik yang mungkin memandu keputusan kita untuk melakukan pengungkapan. Pengungkapan diri seseorang dapat mencakup ruang kognitif kita (pikiran kita) dan ruang atau wilayah fisik kita. Teori Manajemen Privasi Komunikasi Sandra Petronio (bab 12) memetakan cara rumit orang mengelola batasan seputar informasi pribadi mereka.

XI. Kritik: Menarik diri dari penetrasi sosial.

Petronio berpendapat bahwa menyamakan keterbukaan diri dengan kedekatan relasional adalah hal yang sederhana. Dia juga menantang pandangan para ahli teori mengenai batasan pengungkapan sebagai hal yang tetap dan semakin tidak dapat ditembus. Natalie Pennington berpendapat bahwa sebagian besar “apa yang ditemukan dikonsumsi secara pasif dan jarang didiskusikan” ketika mempelajari orang lain melalui media sosial. Teori ini mungkin perlu diperbarui untuk memperhitungkan teknologi komunikasi yang lebih baru. Dapatkah perpaduan kompleks antara keuntungan dan kerugian direduksi menjadi satu indeks? Apakah orang-orang selalu egois sehingga mereka selalu memilih untuk bertindak demi kepentingan terbaik mereka sendiri? Paul Wright percaya bahwa persahabatan sering kali mencapai titik kedekatan sehingga perhatian yang egois tidak lagi penting. Namun demikian, teori tersebut telah teruji oleh waktu dengan hipotesis yang dapat diuji dan penelitian kuantitatif.

Review dari Griffin, EM. 2019. A First Look  at  Communication Theory.    10th    ed.    New York: McGraw Hill chapter 8 :  Social Penetration Theory

Apa itu Education 4.0 ?

•7 April 2024 • Tinggalkan sebuah Komentar

“Jangan tanyakan apa yang teknologi lakukan untuk siswa, tapi apa yang siswa bisa lakukan dengan teknologi, siswa dapat memperdalam ilmu dan kegemaran mereka melalui teknologi,” (Ananto, 2019)

Ungkapan di atas dikemukakan oleh Ananto Kusuma Seta,  Staf Ahli Bidang Inovasi dan Daya Saing Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud),  pada saat pembukaan Pameran Global Educational Supplies and Solutions (GESS) Indonesia di Jakarta 2019 silam.

Kita memang sudah harus memasuki era Education 4.0. Era di mana pendidikan harus menjawab kebutuhan baru di industri dan pekerjaan. Pendidikan harus mampu membentuk kreativitas, kepemimpinan, kemampuan beradaptasi, serta kemampuan pemecahan masalah dalam ruang lingkup guru dan siswa. Selain itu dengan adanya pemanfaatan teknologi, anak-anak di daerah 3T (tertinggal, terluar, dan terdalam) mendapatkan pendidikan yang merata. Teknologi punya peran dalam pemenuhan kebutuhan, yaitu kepanjangan tangan manusia dalam meraih sesuatu dan memenuhi kebutuhan dasar manusia.

Lalu apa sesungguhnya Education 4.0 ? Tulisan ini mencoba mengulas konsep dan implementasi serta tantangan bagi dunia pendidikan  Indonesia  di era Education 4.0.

Konsep Education 4.0

Education 4.0 adalah istilah yang merujuk pada evolusi pendidikan di era digital dan teknologi yang terus berkembang. Konsep ini mencakup penggunaan teknologi canggih seperti kecerdasan buatan (AI), big data, Internet of Things (IoT), realitas virtual (VR), realitas augmentasi (AR), pemrosesan bahasa alami, dan teknologi lainnya untuk meningkatkan proses pembelajaran.

Era Revolusi Industri 4.0 merupakan era transformasi digital yang mengubah tatanan hidup manusia menjadi serba digital. Termasuk tatanan pendidikan sehingga era ini sering disebut sebagai era disrupsi. Pada era ini, penggunaan kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan internet yang masif (internet of things) menjadi ciri utama proses transformasi digital dari era-era sebelumnya. Di era disrupsi ini, guru juga mengambil peran penting. Dengan mengoptimalkan peran utamanya dalam membimbing, memotivasi, mengarahkan, dan memfasilitasi aktivitas belajar siswa dengan memanfaatkan TIK secara aman, baik fisik maupun mental. Pembelajaran merupakan proses interaksi antarsiswa, siswa dengan guru dan siswa dengan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.

Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pembelajaran yang relevan dengan era revolusi industri 4.0 sebagai era disrupsi memiliki beberapa ciri, di antaranya:

1. Pembelajaran yang diarahkan oleh siswa sendiri (self directed learning)

2. Pembelajaran dengan multisumber belajar (multi sources).

3. Pembelajaran sepanjang hayat (life long learning)

4. Pembelajaran berbasis TIK (ICT bases learning)

5. Pembelajaran yang adaptif (adaptive learning)

6. Pembelajaran yang dapat membangun cara pandang (growth mindset)

Seacara umum  inti konsep Education 4.0 bercirikan sebagai berikut:

  1. Koneksi Digital: Education 4.0 mengutamakan konektivitas digital antara siswa, guru, dan sumber daya pembelajaran. Ini dapat melibatkan penggunaan platform pembelajaran daring, jejaring sosial pendidikan, dan alat kolaborasi daring lainnya.
  2. Personalisasi Pembelajaran: Teknologi dalam Education 4.0 memungkinkan pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu. Sistem pembelajaran adaptif menggunakan data dan kecerdasan buatan untuk memberikan pengalaman pembelajaran yang sesuai dengan tingkat pengetahuan, minat, dan gaya belajar masing-masing siswa.
  3. Pembelajaran Berbasis Proyek dan Kolaboratif: Education 4.0 mendorong pembelajaran yang berfokus pada proyek dan kolaborasi. Siswa tidak hanya belajar secara pasif, tetapi juga aktif terlibat dalam proyek-proyek praktis yang mendorong pemecahan masalah, kreativitas, dan kerja tim.
  4. Keterampilan yang Relevan untuk Masa Depan: Education 4.0 menekankan pentingnya mengajarkan keterampilan yang relevan untuk masa depan, seperti pemecahan masalah, pemrograman, literasi digital, kritis, kolaborasi, dan keterampilan interpersonal. Tujuannya adalah untuk mempersiapkan siswa menghadapi tantangan dalam masyarakat yang terus berubah dan teknologi yang berkembang pesat.
  5. Pendidikan Inklusif: Teknologi dalam Education 4.0 juga memungkinkan pendidikan yang lebih inklusif, dengan menyediakan aksesibilitas yang lebih baik bagi siswa dengan kebutuhan khusus atau berbagai latar belakang.
  6. Pemantauan dan Evaluasi Berbasis Data: Data menjadi pusat dalam Education 4.0. Guru dapat menggunakan data untuk memantau perkembangan siswa secara individu dan menyediakan umpan balik yang lebih terarah. Sistem evaluasi berbasis data juga memungkinkan untuk menilai efektivitas metode pengajaran dan kurikulum.
  7. Lifelong Learning (Pembelajaran Sepanjang Hayat): Konsep Education 4.0 juga menekankan pentingnya pembelajaran sepanjang hayat. Dengan teknologi, pembelajaran tidak lagi terbatas pada masa sekolah atau perguruan tinggi, tetapi berlangsung sepanjang hidup seseorang untuk mengikuti perkembangan profesi dan kebutuhan pribadi.

Sistem Evaluasi Berbasis Data

Dari beberapa ciri  konsep Education 4.0 di atas mungkin ada yang perlu saya jelaskan lebih jauh  tentang sistem evaluasi berbasis data.

Sistem evaluasi berbasis data adalah pendekatan untuk mengumpulkan, menganalisis, dan menggunakan data dalam proses evaluasi pembelajaran. Metode ini memanfaatkan teknologi untuk mengumpulkan data secara otomatis, mengolahnya, dan menghasilkan wawasan yang lebih mendalam tentang kemajuan siswa dan efektivitas pembelajaran.

Berikut adalah beberapa contoh konkrit dari sistem evaluasi berbasis data dalam pendidikan:

  1. Ujian Adaptif: Sistem evaluasi ini menggunakan algoritma untuk menyesuaikan tingkat kesulitan soal ujian berdasarkan respons siswa sebelumnya. Ini memungkinkan penyesuaian yang lebih akurat terhadap kemampuan individual siswa. Contohnya adalah platform ujian daring yang dapat secara otomatis menyesuaikan tingkat kesulitan soal berdasarkan kinerja siswa.
  2. Analisis Interaksi Siswa: Platform pembelajaran daring dan alat-alat kolaborasi memungkinkan pengumpulan data tentang interaksi siswa dengan materi pembelajaran dan rekan-rekan mereka. Analisis ini dapat memberikan wawasan tentang tingkat keterlibatan siswa, pola pembelajaran, dan area-area yang memerlukan perhatian lebih lanjut.
  3. Pemantauan Progres Siswa: Sistem manajemen pembelajaran (LMS) dapat digunakan untuk melacak kemajuan siswa dalam waktu nyata. Data yang dikumpulkan dari aktivitas siswa seperti tugas, kuis, dan diskusi daring dapat memberikan gambaran yang lebih akurat tentang pemahaman mereka terhadap materi pembelajaran.
  4. Evaluasi Formatif Otomatis: Alat-alat evaluasi otomatis menggunakan algoritma untuk mengevaluasi pekerjaan siswa secara cepat dan memberikan umpan balik yang langsung. Contoh termasuk perangkat lunak deteksi plagiarisme, penilaian otomatis jawaban pilihan ganda, atau alat-alat penilaian visual untuk tugas berbasis gambar atau desain.
  5. Analisis Sentimen: Analisis sentimen digunakan untuk memahami respons emosional siswa terhadap materi pembelajaran. Ini dapat dilakukan melalui survei, analisis diskusi, atau bahkan penggunaan teknologi pengenalan wajah untuk memonitor ekspresi siswa selama pembelajaran.
  6. Prediksi Kinerja Akademik: Dengan menggunakan teknik analisis prediktif, sistem evaluasi berbasis data dapat memprediksi kinerja akademik siswa di masa depan berdasarkan data historis mereka. Hal ini dapat membantu dalam menyusun intervensi yang sesuai untuk siswa yang berisiko rendah atau tinggi.
  7. Penggunaan Analytics untuk Perbaikan Kurikulum: Data yang dikumpulkan dari evaluasi berbasis data juga dapat digunakan untuk meningkatkan kurikulum dan metode pengajaran. Dengan menganalisis pola kesalahan umum atau area-area yang sulit bagi siswa, kurikulum dapat disesuaikan untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran.

Lalu bagaimana Tantangan Pendidikan Tanah Air di Era Education 4.0?

Beberapa tantangan utama yang dihadapi para pemangku kepentingan dunia pendidikan Tanah Air dalam menghadapi dan mengimplementasikan pendidikan level 4.0, terutama pemerintah dan institusi pendidikan.

  1. Peningkatan kompetensi bagi tenaga pendidik.

Tak perlu diragukan lagi, tenaga pendidik memiliki peran yang luar biasa penting dalam memastikan bahwa tujuan pembelajaran telah tercapai. Tak hanya itu saja, tenaga pendidik pun memiliki peran penting sebagai mentor bagi siswa, yang diharapkan bisa memberi materi sebagai bekal siswa untuk masa depan, baik itu materi akademik maupun non-akademik.

Karena itulah tenaga pendidik juga perlu memiliki beberapa kompetensi penting yang dapat menunjang peran pentingnya tadi. Dan kompetensi yang dimaksud tak melulu kompetensi yang berkaitan dengan dunia akademik, tapi juga softskill yang mendukung perannya sebagai mentor kehidupan siswa sekaligus menjawab tantangan pendidikan Pancasila. Misalnya sikap yang proaktif dalam menyampaikan materi atau bahan ajar, serta kreativitas dalam menemukan solusi untuk menghadapi para siswa dengan karakter serta latar belakang yang berbeda-beda. Dan tentunya tenaga pendidik juga perlu memiliki kompetensi terkait dengan pemanfaatan dan penggunaan teknologi, sesuai dengan era digital saat ini.

  1. Penerapan teknologi dalam metode pembelajaran.

Sama halnya dengan Industri 4.0, Pendidikan 4.0 juga ditandai serta dipicu oleh perkembangan teknologi. Oleh karena itu, jelas tidak mengherankan jika tahap pendidikan yang satu ini menitikberatkan pada penggunaan teknologi digital untuk pelaksanaan maupun penunjang kegiatan pembelajaran.

Beberapa contoh platform pembelajaran berbasis digital yang wajib dikuasai oleh tenaga pendidik adalah:

  • E-learning, yaitu metode pembelajaran online atau jarak jauh. Sebenarnya, metode pembelajaran seperti ini tak perlu hanya diterapkan karena pandemi Covid-19 saja, tapi juga untuk mendukung metode pembelajaran yang berbasis digital.
  • E-library, atau pemenuhan akan buku serta materi ajar yang dibutuhkan siswa dalam menyelesaikan tugas dan menambah wawasannya. Di dalam e-library, siswa dapat mengakses beragam e-book sehingga siswa tetap mendapatkan sumber daya yang dibutuhkan meskipun secara digital.
  1. Pemerataan infrastruktur pendidikan.

Ketika negara-negara lain yang telah menerapkan pendidikan level 4.0 sudah berbicara bagaimana caranya untuk terus meningkatkan kualitas SDM, sayangnya Indonesia masih juga harus berkutat dengan masalah infrastruktur pendidikan yang masih belum merata. Jangankan infrastruktur teknologi untuk menunjang kegiatan pembelajaran, infrastruktur yang masih dasar saja masih belum merata dirasakan seluruh warga negara Indonesia. Padahal, prinsip pendidikan pada dasarnya merupakan hak setiap warga negara yang semestinya telah dijamin pemenuhannya.

Masih ada banyak PR dan tugas penting yang harus dikerjakan oleh semua pemangku kepentingan pendidikan Tanah Air dengan segera. Terlebih lagi jika semua pihak yang terlibat sama-sama memiliki tujuan untuk memajukan serta meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

Meski demikian, tentu saja bukan berarti penerapan Pendidikan 4.0 jadi hal yang mustahil di Tanah Air. Dengan menjawab berbagai tantangan yang dihadapi dunia pendidikan Indonesia hingga saat ini secara efektif serta tepat anggaran, bukan mustahil bagi Indonesia untuk bisa meningkatkan kualitas pendidikan maupun SDM agar dapat bersaing dengan negara-negara lain yang lebih maju.

Demikian sekilas pandang pengenai Education 4.0, pengembang kurikulum di perguruan tinggi perlu mempertimbangkan integrasi teknologi dan prinsip-prinsip ini dalam merancang kurikulum yang relevan dan responsif terhadap tuntutan pendidikan di era digital. 

Berikut beberapa referensi yang dapat menjadi sumber yang baik untuk memahami lebih lanjut tentang Education 4.0:

https://www.researchgate.net/publication/339422967_Paradigms_to_Drive_Higher_Education_40

https://www.researchgate.net/publication/370144069_Education_40_The_Concept_Skills_and_Research Laporan dan Studi Kasus:

https://www.ijlter.org/index.php/ijlter/article/view/1883

https://edukasi.kompas.com/read/2022/12/13/090000171/kemendikbud–6-profil-pendidikan-era-4.0-perlu-diketahui-guru-siswa

https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2019/09/menyiapkan-era-education-40-dengan-teknologi

SEKILAS TENTANG “ETNOMETODOLOGI”

•5 April 2024 • Tinggalkan sebuah Komentar

Pengantar

< etno – metode – (o)logi,

etno mengacu pada kelompok sosial budaya tertentu;

metode mengacu pada metode dan praktik yang digunakan kelompok tertentu dalam aktivitas sehari-hari; Dan

(o)logi (dari bahasa Yunani ‘logos’), mengacu pada deskripsi sistematis metode dan praktik ini.

Intisari  etnometodologis adalah pada “bagaimana” [metode dan praktik] produksi dan pemeliharaan tatanan sosial.  Pada hakikatnya etnometologi berupaya membuat klasifikasi tindakan sosial individu dalam kelompok dengan memanfaatkan pengalaman kelompok secara langsung, tanpa memaksakan pendapat peneliti mengenai tatanan sosial, seperti halnya studi sosiologi. Anne Rawls menyatakan: “Etnometodologi adalah studi tentang metode yang digunakan orang untuk menghasilkan tatanan sosial yang dapat dikenali” (Garfinkel, 1967:6).

Asumsi mendasar kajian etnometodologi sebagaimana dicirikan oleh Anne Rawls adalah sebagai berikut :

“Jika seseorang berasumsi, seperti yang dilakukan Garfinkel, bahwa karakter kehidupan sehari-hari yang bermakna, terpola, dan teratur adalah sesuatu yang harus terus-menerus dicapai oleh manusia, maka kita juga harus berasumsi bahwa mereka mempunyai metode untuk mencapainya”. Artinya, “…anggota masyarakat harus mempunyai metode bersama yang mereka gunakan untuk bersama-sama membangun keteraturan situasi sosial yang bermakna” (Garfinkel 1967: 5).

Sejalan dengan asumsi ini, tujuan penyelidikan etnometodologis adalah mendeskripsikan metode-metode yang digunakan dalam menghasilkan karakter keteraturan dalam kehidupan sehari-hari. Metode-metode ini tertanam dalam pekerjaan yang dilakukan masyarakat, dan diwujudkan dalam lingkungan lokal oleh orang-orang yang terlibat dalam lingkungan tersebut.

Pendekatan ini awalnya dikembangkan oleh Harold Garfinkel, berdasarkan studinya tentang: prinsip dan praktik akuntansi keuangan; teori dan metode sosiologi tradisional [terutama: Durkheim, Weber, dan Parsons]; keprihatinan sosiologi tradisional [“masalah ketertiban” Hobbesian]; dan fenomenologi: Aron Gurwitsch, Alfred Schutz, Edmund Husserl, Martin Heidegger, dan Maurice Merleau-Ponty.

Macam-Macam Etnometodologi

Menurut George Psathas, ada lima jenis kajian etnometodologi yang dapat diidentifikasi (Psathas:1995:139-155). Ini dapat dicirikan sebagai:

1.Organisasi tindakan praktis dan penalaran praktis. Termasuk studi-studi paling awal, seperti studi-studi penting dalam Studies in Ethnomethodology karya Garfinkel.

2.Organisasi pembicaraan dalam interaksi. Baru-baru ini dikenal sebagai analisis percakapan, Harvey Sacks menerapkan pendekatan ini bekerja sama dengan rekannya Emanuel Schegloff dan Gail Jefferson.

3.Interaksi dalam lingkungan kelembagaan atau organisasi. Meskipun penelitian-penelitian awal berfokus pada pembicaraan yang diabstraksikan dari konteks di mana percakapan itu dihasilkan (biasanya menggunakan rekaman percakapan telepon), pendekatan ini berupaya mengidentifikasi struktur interaksi yang spesifik pada situasi tertentu.

4.Studi tentang pekerjaan. ‘Pekerjaan’ digunakan di sini untuk merujuk pada aktivitas sosial apa pun. Minat analitisnya adalah pada bagaimana pekerjaan itu dicapai dalam lingkungan di mana pekerjaan itu dilakukan.

5. Kehebatan pekerjaan. Apa yang membuat suatu aktivitas menjadi seperti itu? misalnya apa yang membuat tes menjadi tes, kompetisi menjadi kompetisi, atau definisi menjadi definisi?

Teori Dan Metode

Salah satu masalah yang paling membingungkan bagi mereka yang baru menganalisis data dengan menggunakan etnometodologi adalah tidak adanya teori yang dinyatakan secara formal dan proses yang disepakati. Walaupun permasalahan-permasalahan ini tampak serius, namun hal ini tidak menghalangi para etnometodologi untuk melakukan studi etnometodologis, dan menghasilkan literatur substansial tentang “temuan” (Maynard & Clayman, 1991:385-418).

Dalam kaitannya dengan pertanyaan tentang metode etnometodologi, Anne Rawls, mewakili Garfinkel, berpendapat bahwa etnometodologi itu sendiri bukanlah sebuah metode. Artinya, tidak mempunyai seperangkat metode atau prosedur penelitian formal. Sebaliknya, posisi yang diambil adalah bahwa para ahli etnometodologi telah melakukan penelitian mereka dengan berbagai cara, dan bahwa inti dari penyelidikan ini adalah, ‘…untuk menemukan hal-hal yang dilakukan oleh orang-orang dalam situasi tertentu, metode yang mereka gunakan, untuk menciptakan keteraturan kehidupan sosial yang berpola‘ (Garfinkel ,1967:6).

Beberapa Kebijakan, Metode Dan Definisi  Relevan Dengan Etnometodologi

Pepatah Durkheim. Durkheim terkenal menganjurkan agar kita, “…memperlakukan fakta sosial sebagai benda” (Durkheim:1895/1982:S.45). Hal ini biasanya diartikan bahwa kita harus mengasumsikan objektivitas fakta sosial sebagai prinsip kajian (sehingga memberikan landasan sosiologi sebagai ilmu).

Pemahaman alternatif Garfinkel terhadap Durkheim adalah kita harus memperlakukan objektivitas fakta sosial sebagai pencapaian anggota masyarakat, dan menjadikan proses pencapaian itu sendiri sebagai fokus kajian.

Accounts. Accounts adalah cara anggota menggambarkan atau menjelaskan situasi tertentu. Accounting adalah proses menggambarkan atau menjelaskan situasi sosial atau bagaimana anggota memahami dunia sehari-hari mereka.

Indeksikalitas. Konsep Indeksikalitas adalah konsep inti utama Etnometodologi  berasal dari konsep ekspresi indeksikal yang muncul dalam filsafat bahasa biasa, di mana suatu pernyataan dianggap indeksikal sejauh maknanya bergantung pada konteks di mana pernyataan itu tertanam. Dalam etnometodologi, fenomena tersebut diuniversalkan pada semua bentuk bahasa dan perilaku, dan dianggap tidak dapat  diperbaiki lagi untuk tujuan membangun deskripsi ilmiah dan penjelasan tentang perilaku sosial.

Konsekuensi dari tingkat ketergantungan kontekstual untuk suatu “segmen” pembicaraan atau perilaku dapat berkisar dari masalah pembentukan “konsensus kerja” mengenai deskripsi sebuah frase, konsep atau perilaku, hingga akhir permainan deskripsi ilmiah sosial itu sendiri.

Refleksivitas. Terlepas dari kenyataan bahwa banyak sosiolog menggunakan “refleksivitas” sebagai sinonim untuk “refleksi diri,” cara penggunaan istilah tersebut dalam etnometodologi berbeda: istilah ini dimaksudkan “untuk menggambarkan penentuan sebab-akibat dan non-mentalistik dari tindakan-tindakan yang bermakna. konteks.”

Metode interpretasi dokumenter. Metode dokumenter adalah metode pemahaman yang digunakan oleh setiap orang yang terlibat dalam upaya memahami dunia sosial mereka – termasuk ahli etnometodologi. Garfinkel memulihkan konsep tersebut dari karya Karl Mannheim dan berulang kali mendemonstrasikan penggunaan metode ini dalam studi kasus yang muncul dalam teks utamanya, Studies in Ethnomethodology (1967). Mannheim mendefinisikan istilah tersebut sebagai pencarian pola makna homolog identik yang mendasari berbagai realisasi makna yang sama sekali berbeda.

Garfinkel menyatakan bahwa metode penafsiran dokumenter terdiri dari memperlakukan penampakan aktual sebagai “dokumen”, “menunjuk”, sebagai “berdiri atas nama”, suatu pola dasar yang diandaikan. “Dokumen-dokumen” ini berfungsi untuk membentuk pola yang mendasarinya, namun mereka sendiri ditafsirkan berdasarkan apa yang sudah diketahui tentang pola yang mendasarinya.

Bidang penyelidikan etnometodologi. Bagi etnometodologi, topik kajiannya adalah praktik-praktik sosial yang dilakukan oleh orang-orang di lingkungan nyata, dan metode-metode yang digunakan oleh orang-orang tersebut untuk menghasilkan dan memelihara rasa ketertiban sosial bersama.

Berikut Adalah Contoh Kajian Etnometodologi Dalam Konteks Masyarakat Di Indonesia:

Studi tentang Praktik Perilaku di Pasar Tradisional: Seorang peneliti etnometodologi dapat memilih untuk memeriksa bagaimana perilaku dan interaksi di pasar tradisional di Indonesia. Mereka akan mengamati bagaimana pedagang dan pembeli berinteraksi satu sama lain, bagaimana mereka menegosiasikan harga, menggunakan bahasa tubuh, dan mengikuti aturan tak tertulis dalam transaksi jual beli. Peneliti akan mencoba memahami bagaimana aturan-aturan sosial tidak tertulis, seperti cara menawar atau etika berinteraksi di pasar, membentuk praktik sehari-hari orang-orang di pasar tersebut.

Analisis Komunikasi di Lingkungan Kerja: Seorang peneliti etnometodologi juga dapat meneliti lingkungan kerja di sebuah perusahaan di Indonesia. Mereka akan melakukan observasi mendalam tentang bagaimana komunikasi terjadi antara atasan dan bawahan, atau antara rekan kerja. Peneliti akan memperhatikan bagaimana aturan tak tertulis, seperti cara memilih kata-kata atau menanggapi permintaan, mempengaruhi dinamika interaksi dalam lingkungan kerja tersebut.

Studi tentang Penggunaan Media Sosial: Dalam konteks modern, penelitian etnometodologi di Indonesia juga dapat difokuskan pada penggunaan media sosial. Peneliti akan memeriksa bagaimana individu mengonstruksi identitas online mereka, berinteraksi dengan orang lain, dan memahami norma-norma yang berkembang di dalam komunitas daring. Mereka akan memeriksa cara individu menggunakan bahasa, emoji, dan simbol-simbol lainnya untuk berkomunikasi dan membuat arti di dalam dunia virtual.

Analisis Budaya Organisasi dalam Konteks Lokal: Penelitian etnometodologi juga dapat difokuskan pada budaya organisasi di perusahaan atau institusi di Indonesia. Peneliti akan memperhatikan bagaimana anggota organisasi menafsirkan dan menjalankan kebijakan, norma-norma, dan tradisi organisasi sesuai dengan konteks lokal mereka. Mereka akan memperhatikan cara atasan dan bawahan berinteraksi, bagaimana keputusan dibuat, dan bagaimana kebijakan dilaksanakan sehari-hari di tempat kerja.

Simpulan

Etnometodologi berusaha untuk memahami bagaimana manusia membuat arti dalam konteks sosial tertentu dan bagaimana aturan-aturan sosial membentuk interaksi mereka. Ini merupakan kontribusi penting terhadap pemahaman tentang struktur sosial dan tindakan individu dalam masyarakat. Dengan menerapkan  etnomethodologi  penelitian etnometodologi  dapat memberikan wawasan yang berharga tentang bagaimana aturan-aturan sosial dan norma-norma budaya lokal membentuk interaksi sosial dan praktek-praktek sehari-hari di berbagai konteks masyarakat.

Referensi :

Douglas W Maynard & Steven E. Clayman (2003) Ethnomethodology and conversation analysis   Handbook of Symbolic Interactionism Publisher: Altamira Press Editors: L. Reynolds, N. Herman-Kinney

Garfinkel, H. (1967) Studies in ethnomethodology. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall

George Psathas, (1995), ““Talk and social structure” and “Studies of work””, Human Studies, vol. 18, no. 2-3, pp. 139≠155

SPEECH CODES THEORY (Gerry Philipsen)

•4 April 2024 • Tinggalkan sebuah Komentar

I. Pendahuluan.

Gerry Philipsen dipengaruhi oleh ahli bahasa dan antropolog Dell Hymes. Dia menghabiskan tiga tahun menganalisis kode ucapan “Teamsterville.” Kode tutur adalah sistem simbol dan makna, premis, dan aturan yang dibangun secara sosial, berkaitan dengan perilaku komunikatif. Dia melakukan studi multi-tahun kedua saat mengajar di Universitas California, Santa Barbara, dan Universitas Washington. Studi ini berfokus pada “Nacirema,” yang kode ucapannya dapat dimengerti, dan dipraktikkan oleh mayoritas orang Amerika. Ciri khasnya adalah keasyikan dengan metakomunikasi.

Tujuan utama Philipsen adalah mengembangkan teori umum yang menangkap hubungan antara komunikasi dan budaya. Untuk menunjukkan bahwa teorinya telah berpindah dari deskripsi ke penjelasan dan prediksi, ia memberi label teori kode ucapan pada karyanya. Dia telah mengembangkan enam proposisi umum.

  1.  The distinctiveness of speech codes.

Proposisi 1: Di mana pun terdapat kebudayaan yang khas, di situ pula terdapat kode tutur yang khas. Bagi mereka yang berada dalam budaya tersebut, kode ucapan memiliki kualitas yang dianggap remeh.

  1. The multiplicity of speech codes.

Proposisi 2: Dalam komunitas tutur tertentu, beberapa kode ujaran diterapkan. Orang mungkin terpengaruh oleh kode lain atau menggunakan lebih dari satu kode. Ahli etnografi Erving Goffman menyebut alih kode ini sebagai perilaku di belakang layar dan mendokumentasikan kesenjangan yang terjadi di restoran, sekolah, dan rumah sakit jiwa.

  1. The substance of speech codes.

Proposisi 3: Kode ucapan melibatkan psikologi, sosiologi, dan retorika yang berbeda secara budaya. Apapun budayanya, kode ucapan mengungkapkan struktur diri, masyarakat, dan tindakan strategis.

1. Psikologi: Setiap kode ucapan bertemakan sifat individu dengan cara tertentu.

2. Sosiologi: Setiap kode ucapan memberikan sistem jawaban tentang hubungan apa antara diri sendiri dan orang lain yang dapat dicari dengan tepat, dan sumber daya simbolik apa yang dapat digunakan dengan baik dan efektif dalam mencari hubungan tersebut.

3. Retorika: Setiap kode ucapan melibatkan cara untuk menemukan kebenaran dan menciptakan daya tarik persuasif.

  1. The interpretation of speech codes.

Proposisi 4: Pentingnya berbicara bergantung pada kode ucapan yang digunakan oleh pembicara dan pendengar untuk menciptakan dan menafsirkan komunikasi mereka. Orang-orang dalam suatu budaya menentukan apa arti dari praktik tuturan mereka yang menonjol.

  1. The site of speech codes.

Proposisi 5: Istilah-istilah, aturan-aturan, dan premis-premis dari suatu kode tutur terjalin erat dalam tuturan itu sendiri. Proses penemuannya membutuhkan waktu dan seseorang dengan kesabaran yang mau mendengarkan dan mengamati tanpa prasangka. Philipsen tidak suka berasumsi bahwa suatu budaya bersifat individualistis atau kolektivistik.

Bentuk budaya yang sangat terstruktur sering kali menampilkan makna budaya berupa simbol dan makna, premis, dan aturan yang mungkin tidak dapat diakses melalui percakapan normal.

1. Drama sosial adalah konfrontasi publik di mana salah satu pihak menggunakan aturan moral untuk menantang tindakan pihak lain.

2. Ritual totemisasi melibatkan pelaksanaan secara hati-hati rangkaian tindakan terstruktur yang memberi penghormatan kepada benda-benda suci.

  1. The force of speech codes in discussions.

Proposisi 6: Penggunaan kode tuturan bersama secara cerdik merupakan kondisi yang cukup untuk memprediksi, menjelaskan, dan mengendalikan bentuk wacana tentang kejelasan, kehati-hatian, dan moralitas perilaku komunikasi. Proposisi 6 menyarankan bahwa dengan penggunaan kode ucapan bersama secara bijaksana, peserta dapat memandu metakomunikasi.

  1. Performative ethnography.

Beberapa peneliti lebih menyukai konsep melakukan etnografi daripada melakukan etnografi.

Etnografi performatif didasarkan pada beberapa prinsip teoritis

1. Pertunjukan adalah subjek sekaligus metode etnografi pertunjukan.

A. Semua interaksi sosial adalah pertunjukan karena ucapan tidak hanya mencerminkan tetapi juga mengubah dunia.

B. Metakinerja—tindakan yang dianggap simbolik oleh peserta—berfungsi sebagai pengingat bahwa kinerja mendefinisikan dan meresapi kehidupan.

2. Peneliti menganggap pekerjaannya performatif; mereka tidak hanya mengamati kinerja tetapi juga merupakan rekan kerja.

3. Para etnografer kinerja juga memperhatikan kinerja ketika mereka melaporkan pekerjaan lapangan mereka.  Mereka ingin menciptakan etnografi yang aktif.  Melalui pertunjukan, para etnografer dapat mengenali keterbatasan, dan mengungkap bias budaya dalam karya tulisnya.

Etnografi kinerja hampir selalu terjadi di kalangan kelompok marginal.

  1. Critique: Different speech codes in communication theory.

Kebanyakan pakar interpretatif memuji komitmen Philipsen terhadap observasi partisipan jangka panjang. Namun, mereka mengkritik upayanya untuk menggeneralisasi lintas budaya dan tujuan ilmiahnya dalam menjelaskan, memprediksi, dan mengendalikan. Para ahli teori dari perspektif feminis, kritis, atau kajian budaya menuduh bahwa ia diam—bahkan naif—tentang hubungan kekuasaan. Kaum empiris berharap Philipsen mendukung generalisasinya dengan ketelitian yang lebih ilmiah. Mengenai ruang lingkup atau cakupan teori tersebut, para peneliti yang terlatih dalam teori dan metodologi kode ucapan telah menerbitkan etnografi yang dilakukan di Kolombia, Finlandia, Jerman, Israel, Meksiko, Spanyol, serta di AS dan negara-negara lain. Namun Philipsen mengingatkan bahwa ruang lingkup teorinya terbatas pada perilaku komunikasi.