MENGENAL STUART HALL

Tri Nugroho Adi

Tri Nugroho Adi

Dilahirkan di Jamaica tahun 1932, Stuart Hall menjadi sosok yang sangat terkenal dalam sejarah perkembangan kajian budaya di Inggris. Sebagai pemimpin, fasilitator, teoritisi sekaligus editor, dia mengembangkan beberapa pendekatan kunci,  juga beberapa teori di dalam kancah kajian budaya. Dalam beberapa kasus, dia mengambil karya-karya berpengaruh dari teoritisi Eropa dan membawanya di kalangan audiens berbahasa Inggris dan menjadikannya bahan diskusi hangat.  Banyak dari karya Hall yang dilakukan melalui kerjasama dengan para koleganya dari Pusat Kajian Budaya Kontemporer Birmingham dan  dari Universitas Terbuka.

Stuart Hall

Stuart Hall

Model terkenal Hall, ‘encoding/decoding’ (1975), mengatakan bahwa produser media bisa saja meng-encode makna tertentu dalam teks yang dihasilkannya, yang didasarkan pada pemahaman dan konteks sosial tertentu, namun perlu dicatat bahwa ketika teks tersebut dikonsumi orang, maka orang tersebut akan melakukan decoding — berdasarkan pada asumsi dan konteks sosial dia sendiri. Ini yang menjadikan ada perbedaan antara proses yang dihasilkan dalam encoding dan decoding-nya. Salah satu keunggulan dari model Hall ini terletak pada pencerahan akan pentingnya pemahaman terhadap makna dan interpretasi dari pelaku-pelaku utama, baik dari kalangan produsen media ( jurnalis, penulis, produser,editor) dan penerima media (para audiens) – termasuk juga mereka yang menjadi perantara dalam distribusi media  ( executives, marketing, broadcaster, distributor,dan regulator).

Tulisan-tulisan Hall mengenai ideologi yang makin canggih itu berusaha untuk memahami bagaimana kedudukan politik tertentu bisa menjadi sangat berarti dan populer ketika diartikulasikan dalam konsep yang orang-orang kemudian mampu mengenalinya (komunikasi semacam itu tentu saja menggunakan sarana media massa).  Pendekatan ini merefleksikan minat Hall terhadap karya Antonio Gramsci ( 1891-1937) yang mengemukakan bahwa seorang pemimpin akan memenangkan persetujuan dari rakyatnya (‘hegemony’), jika si pemimpin tersebut  mampu membuat kebijakannya tampak sebagai masuk akal (common sense).  Kajian Hall tentang Thatcherism,misalnya, berakar dari gagasan berikut:  Thatcherism menjadi sukses karena bisa diartikulasikan sebagai agenda politik sayap kanan dalam terminologi yang ditujukan khususnya kepada kalangan orang biasa, dan membuat solusi yang ditawarkan itu terkesan berempati terhadap kebutuhan mereka serta gampang dimengerti ( Hall 1983,1988).  Dalam penelitian mengenai media dan gender, kita bisa menggunakan pendekatan tersebut untuk melihat bagaimana media memiliki kemungkinan memberi ruang  tersendiri terhadap maskulinitas, feminitas, dan seksualitas sehingga tampak sebagai hal yang biasa, inevitable, dan sexy.

Kajian Hall mengenai ideologi juga menggambarkan pembacaan kritisnya terhadap pemikir Marxist Prancis, Louis Althusser ( 1918-1990) yang konsepnya mengenai ‘interpellation’ dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana identitas individu atau konsep diri individu itu diserap ke dalam —dan, sebetulnya, diproduksi oleh—ideologi dominan yang ada dalam masyarakat ( Althusser, 1971). Interpellation secara khusus dipakai untuk menjelaskan pada semacam sapaan —seperti ketika seseorang yang memiliki otoritas tertentu memanggil ‘hei kamu’, dan orang yang dipanggil itu kemudian menoleh untuk mengetahui apakah panggilan itu ditujukan pada dirinya. Pada saat seperti itu, seseorang seakan ‘dibentuk’ atau ditempatkan sebagai ‘subjek’ — yang artinya bahwa mereka mengenali dan mengakuinya  di dalam posisi struktur ideologi tertentu. Interpellation muncul ketika seseorang berhubungan dengan suatu teks media : ketika kita menikmati sebuah majalah atau tayangan TV, misalnya, situasi konsumsi semacam ini bisa diartikan bahwa teks tersebut telah meng-interpellated  (menyapa) kita melalui seperangkat asumsi, dan mengakibatkan kita secara naluriah menerima suatu cara pandang tertentu tentang dunia ini. Hal ini bisa membuahkan gagasan : misalnya, majalah lifestyle menggunakan glamour, humor, dan foto-foto yang atraktif untuk memengaruhi (menyapa) pembaca agar masuk ke dalam sebuah cara pandang tertentu.

Karya-karya Hall tentang media kemudian difokuskan lebih pada aspek produksi dan representasi ketimbang pada audiensnya, meskipun dia berasumsi keduanya saling terkait. Hall mengatakan bahwa kita bisa mencoba berteori tentang identitas sebagai dibentuk, tidak di luar melainkan di dalam representasi; dan dari itu maka sebuah sinema (atau media lain), bukan sebagai cermin tataran kedua yang membantu kita untuk merefleksikan apa yang sudah ada; media-media itu lebih sebagai suatu wadah  representasi yang mampu membentuk kita menjadi sebuah subjek yang baru (Hall,1997:58). Itulah sebabnya maka menjadi masuk akal untuk memelajari interpretasi media — meskipun kajian semacam ini masih saja berada dalam level spekulasi yang menarik, kecuali didukung data sejumlah respons dari audiens yang sesungguhnya.

Further Reading :  Stuart Hall: Critical Dialogues in Cultural Studies ( Morley and Chen(eds), 1996); Althusser A Critical Reader ( Elliot (ed.), 1994).

Disarikan dari :

Gauntlett , David. 2002. “Stuart Hall and Predecessors”.  Media, Gender and Identity : An Introduction. London and New York : Routledge. Hal 24-25.

Sumber Foto: http://culturalstudiesresearch.org/?page_id=86

~ oleh Tri Nugroho Adi pada 2 Juli 2013.

3 Tanggapan to “MENGENAL STUART HALL”

  1. […] Stuart Hall representasi merupakan media pengampaian pesan, berekspresi dan mengkomunikasikan ide, konsep atau […]

  2. […] atau kode pemaknaan yang menuntun bagaimana individu dan kelompok memandang dunia ini. (baca Hall, 1989 :307-311) Di dalam pemahaman Marxism klasik, ideologi adalah seperangkat gagasan semu yang […]

  3. […] MENGENAL STUART HALL | SINAUKOMUNIKASI […]

Tinggalkan komentar