MENGENAL TEORI KRITIS HABERMAS

Jurgen Habermas

Jurgen Habermas

 “ Representasi atas kepentingan termasuk bagian dari kepentingan itu sendiri”

–           Jurgen Habermas –

Sebagaimana telah dirumuskan kembali oleh Habermas, Teori Kritis bukanlah suatu teori ‘ilmiah’ sebagaimana dikenal secara luas di kenal di kalangan publik akademis dalam masyarakat kita. Habermas melukiskan Teori Kritis sebagai suatu metodologi yang berdiri di dalam ketegangan dialektis antara filsafat dan ilmu pengetahuan (sosiologi). Dalam ketegangan itulah dimaksudkan bahwa Teori Kritis tidak berhenti pada fakta obyektif seperti dianut teori-teori positivis. Teori Kritis hendak menembus realitas sebagai fakta sosiologis, untuk menemukan kondisi-kondisi yang bersifat transendental yang melampaui data empiris. Dengan kutub ilmu pengetahuan dimaksudkan bahwa Teori Kritis juga bersifat historis dan tidak meninggalkan data yang diberikan oleh pengalaman kontekstual. Degan demikian Teori Kritis tidak hendak jatuh pada metafisika yang melayang-layang. Teori kritis merupakan dialektika antara pengetahuan yang bersifat transedental dan yang bersifat empiris.

Karena sifat dialektis itu Teori Kritis dimungkinkan untuk melakukan dua macam kritik. Di satu pihak melakukan kritik transendental dengan menemukan syarat-syarat  yang memungkinkan  pengetahuan dalam diri subyek sendiri. Di lain pihak melakukan kritik imanen dengan menemukan kondisi-kondisi sosio-historis dalam konteks tertentu yang memengaruhi pengetahuan menusia. Dengan kata lain, Teori Kritis merupakan Ideologiekritik ( Kritik-Ideologi), yaitu  suatu refleksi diri untuk membebaskan pengetahuan manusia bila pengetahuan itu jatuh dan membeku pada salah satu kutub, entah transedental entah empiris.

Dalam konteks masyarakat industri maju, Teori Kritis sebagai kritik ideologi mengemban tugas untuk membuka ‘kedok’ ideologis dari positivisme. Positivisme bukan sekedar pandangan positivistis mengenai ilmu pengetahuan  melainkan jauh lebih luas lagi, positivisme sebagai ‘cara berpikir’ yang menjangkiti kesadaran masyarakat industri  maju. Dari keseluruhan keprihatinannya atas permasalahan rasionalitas zaman ini, dapat dikatakan bahwa Teori Kritis mengarahkan diri pada dua taraf yang berkaitan secara dialektis. Pada taraf teori pengetahuan, Teori Kritis berusaha untuk mengatasi saintisme atau positivisme.  Pada taraf teori sosial, kritik itu dibidikkan ke arah berbagai bentuk penindasan ideologis yang melestarikan konfigurasi sosial masyarakat yang represif. Pada kedua taraf itu saling mengandaikan, seperti dinyatakan Habermas: “… suatu kritik radikal atas pengetahuan itu mungkin hanya sebagai teori social”. Pemahaman positivisme atas ilmu-ilmu sosial mengandung relevansi politik yang sama beratnya dengan klaim-klaim politis lain karena pemahaman itu berfungsi dalam melanggengkan status quo masyarakat. Sebaliknya, interaksi social sendiri  diarahkan oleh cara berpikir teknokratis dan positivistis yang pada prinsipnya adalah rasio instrumental atau rasionalitas teknologis. Ke dalam situasi ideologis itulah Teori Kritis membawa misi emansipatoris untuk mengarahkan masyarakat menuju masyarakat yang lebih rasional melalui refleksi diri. Di sini teori mendorong praxis hidup politis manusia.

Meskipun terdapat garis umum yang sama, Teori Kritis itu cukup bervariasi dalam gaya dan isinya menurut pemikirannya masing-masing, entah itu Horkheimer, Adorno atau Marcuse.  Sementara Teori Kritis menurut Habermas secara khusus mempebaharui Teori Kritis Mazhab Frankfurt yang mengalami jalan buntu. Tanpa meninggalkan keprihatinan para pendahulunya, untuk mengadakan perubahan-perubahan structural secara radikal, Habermas merumuskan kepribatinan itu secara baru. Perubahan itu tidak dapat dipaksakan secara revolusioner melalui ‘jalan kekerasan’, juga tak dapat dipastikan datangnya seperti gerhana matahari. Memaksakan perubahan revolusioner melalui kekerasan hanyalah akan mengganti penindas lama dengan penindas baru, seperti terjadi pada rezim Stalin. Di lain pihak, masyarakat memang tidak akan berubah selama angggota-anggotanya menunggu datangnya perubahan bagaikan menunggu terjadinya gerhana. Menurut Habermas – dan inilah gagasan orisinalnya — transformasi social perlu diperjuangkan melalui ‘ dialog-dialog emansipatoris’ . Hanya melalui ‘jalan komunikasi’ dan bukan melalui ‘jalan dominasi’ inilah diutopikan terwujudnya suatu masyarakat demokratis radikal, yaitu masyarakat yang berinteraksi dalam susasana ‘komunikasi bebas dari penguasaan’.

Pandangan Habermas inilah yang kiranya menarik untuk kita simak lebih dalam. Di tengah derap pembangunan dalam masyarakat kita, kontradiksi-kontradiksi yang diakibatkan oleh perubahan-perubahan sosio-kultural menghasilkan tidak hanya kemajuan, tetapi juga kemajuan yang timpang. Ketidakadilan sosial bukan hanya fakta yang sedang diusahakan perbaikannya melainkan pula suatu keadaan yang terlestasikan secara tersamar dan menjadi suatu iklim. Situasi semacam itu tidak hanya memerlukan penanganan teknis –praktis, melainkan juga perlu menerima terang teoritis yang bersifat kritis untuk mengoyak selubung ideologis yang menggelapkan pengetahuan para anggota masyarakat mengenai realitas sosialnya. Dalam situasi semacam itulah diperlukan kritik ideologi, baik terhdap ilmu-ilmu yang melukiskan fakta sosial itu maupun terhadap masyarakat itu sendiri.

Bacaan :

Hardiman, Francisco Budi .1990. Kritik Ideologi : Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, Yogyarakarta : Penerbita Kanisius.

~ oleh Tri Nugroho Adi pada 16 Mei 2013.

3 Tanggapan to “MENGENAL TEORI KRITIS HABERMAS”

  1. […] Baca tulisan lain tentang teori kritis di sini : https://sinaukomunikasi.wordpress.com/2013/05/16/mengenal-teori-kritis-habermas/ […]

  2. […] https://sinaukomunikasi.wordpress.com/2013/05/16/mengenal-teori-kritis-habermas/ […]

  3. Sebenarnya Hebermas itu hanya ingin mengatakan suatu hal yang simpel: masyarakat dalam suatu negara perlu berkomunikasi satu sama lain untuk mencapai suatu konsensus atau pemahaman bersama. Ini hanya akan terjadi jika komunikasi yang dilakukan bersifat dialogis, terbuka, dua arah. Dalam kondisi ini masing-masing pihak dapat menyampaikan argumen-argumennya secara bebas dan rasional, sehingga akhirnya tercapai suatu pemahaman bersama sebagai konsensus. Konsensus ini selanjutnya dipakai untuk membangun tatanan kehidupan bermasyarakat yang lebih baik. Tatanan tanpa dominasi dan intimidasi dari salah satu pihak: tatanan yang mengakui dan menerima adanya kesetaraan sebagai suatu kehendak bebas bersama. Inilah, menurut hemat saya, sebagai suatu konsepsi masyarakat tanpa kelas versi Harbermas. Masyarakat tanpa kelas yang dicita-citakan oleh para penganut paham sosialisme dan komunisme yang berangkat dari filsafat materialisme dan dialektika Hegel dan Karl Marx. Tatanan masyarakat tanpa kelas yang hanya ada pada tataran konsepsi idiologis tetapi tidak pernah bisa diwujudkan dalam kehidupan masyarakat yang empiris.

Tinggalkan komentar