MEMETAKAN RISET DALAM PUBLIC RELATIONS

Tri Nugroho Adi

Tri Nugroho Adi

Seperti halnya  dalam  periklanan, public relations(PR) dalam tahun-tahun terakhir ini juga menampakkan kecenderungan perlunya menyelenggarakan riset demi penyempurnaan fungsi dan tugasnya.  Referensi utama mengenai PR yang ditulis oleh Baskin, Aronoff dan Lattimore (1997:107) menyebutkan:  Research is vital function in the process of public relations. It provides the initial information necessery to plan public relations action and to evaluate its effectiveness. Management demands hard facts, not intuition or guesswork.

Trend melakukan riset  untuk kepentingan  public relations ini dapat dilihat dari beberapa contoh riset PR berikut:  Wiesendanger (1994) melaporkan 80% proyek penelitian yang selesai dilaksanakan oleh lembaga Ketchum Public  Relations tahun 1993 tercatat 57 % di antaranya dijalankan dengan pendekatan evaluasi. Kemudian Hon tahun 1988 mencatat hampir 24 % riset yang dia review mulai menerapkan riset PR yang makin sistematis.

Teknik penelitian PR yang dilakukan  setidaknya sampai dengan akhir 90-an memang masih menggunakan pendekatan riset tradisional. Terlihat  dalam review  tahun 1998,1999,2000 dalam Journal of Public Relations Research, baru 44% riset yang direview oleh jurnal akademik khusus mengangkat tema PR ini yang sudah menggunakan pendekatan metode kualitatif, dengan metode yang populer digunakan adalah wawancara mendalam dan studi kasus;  sementara  56% sisanya masih memakai pendekatan kuantitatif, dengan jenis penelitian yang sering digunakan adalah survai.

Jenis jenis penelitian public relations

Pavlik ( 1987) menguraikan tiga jenis penelitian PR yang utama yaitu applied, basic dan instrospective.

  1. Applied Research . Riset PR terapan ini meneliti isu-isu yang  bersifat spesifik;  di banyak instansi penelitian ini memang dilakukan guna mengatasi suatu persoalan tertentu. Jenis penelitian PR terapan yang paling dikenal adalah Strategic Reserach,yaitu penelitian guna mendesain  kampanye dan  program  yang akan dijalankan public relations. Menurut Broom dan Dozier (1990), yang dimaksud dengan strategic research adalah “ deciding where you want to be in the future …and how to get there”.   Penelitian PR  terapan  lain adalah berupa  Evaluation Research, yang dilakukan untuk menilai efektivitas program public relations ( yang di belakang nanti akan kita diskusikan lebih detil )
  2. Basic Research.  Riset dasar dalam PR dilakukan guna mengembangkan konstruksi teori yang  menjelaskan proses public relations.  Misalnya, penelitian Woodward (2000) menyajikan model teori berbasis  transaksional yang  bisa digunakan dalam public relations. Contoh lain, penelitian Aldoury dan Toth (2002) yang mengkaji mengenai kesenjangan gender dalam bidang pekerjaan public relations.
  3. Introspective Research. Kategori  ketiga ini mengkaji para pelaku yang bekerja di bidang PR. Misalnya, penelitian Berkowitz dan Hristodoulakis ( 1999) yang melakukan survai terhadap para anggota Public Relations Student Society of America dan para profesional yang tergabung dalam Public Relations Society of America terkait dengan pendapat mereka tentang peran yang semestinya dalam menjalankan fungsi PR. Moss, Warnaby dan Newman (2000) melakukan survai terhadap para profesional PR dari berbagai lintas spesialisasi guna menentukan sejauh mana para pelaku tersebut dilibatkan dalam perencanaan strategi managamen. Contoh lainnya, Wrigley(2002) yang meneliti mengenai bagaimana wanita PR  menanggapi adanya persepsi  “ glass ceiling” dalam profesi mereka.

Penelitian dalam Proses Public Relations

Cara mudah mengelompokkan jenis penelitian public relations adalah dengan cara melihat keragaman jenis penelitian yang dilakukan dalam bidang ini.  Cutlip, Center & Broom ( 1994) menyajikan empat tahap model penelitian public relations:

  1. Defining public relations problems
  2. Planning public relations problems
  3.  Implementing public relations program through actions and communications
  4. Evaluating the program

Tahap pertama : Defining public relations problems. Tahap ini diawali dengan mengumpulkan informasi yang bisa menjelaskan sekaligus mengantisipasi kemungkinan timbulnya persoalan PR. Ada beberapa teknik  yang bisa dimanfaatkan dalam tahap ini :

  1. Environmental monitoring programs. Riset ini digunakan untuk mengkaji kecenderungan  opini yang berkembang  dan bermacam peristiwa di masyarakat yang memiliki pengaruh signifikan terhadap organisasi.  Secara umum, ada dua langkah yang harus dilakukan: Pertama, fase  “early warning”, yang mengidentifikasi isu-isu yang berkembang dengan menggunakan analisis isi terhadap bermacam terbitan/publikasi sebagai sinyal pertama munculnya persoalan. Misalnya, sebuah perusahaan melakukan analisis isi terhadap jurnal akademik bidang ekonomi, politik dan science. Contoh lain, suatu  perusahaan  memberikan sponsor untuk melakukan analisis perdagangan dan surat kabar umum. Gregory (2001) menyajikan tipologi monitoring yang membagi lingkungan ke dalam empat sektor : politik, ekonomi, sosial dan gaya hidup. Gronstedt (1999) menggambarkan teknik “SWOT” untuk mennganalisis kelemahan dan kekuatan perusahaan dengan mempertemukan  ancaman dan tantangan dari luar perusahaan. Metode penelitian alternatif bisa juga digunakan dengan menggunakan panel studi terhadap pemimpin komunitas  dan orang yang berpengaruh serta  dikenal luas oleh masyarakat.  Para informan tersebut secara reguler disurvai guna mengetahui hal-hal apakah yang penting menurut mereka dan dianalisis untuk mengidentifikasi topik penting yang  menjadi minat mereka. Kedua, fase monitoring lingkungan adalah melakukan lacakan opini publik yang menjadi isu utama. Secara khusus, ini mencakup bentuk longitudinal panel study, di mana responden yang sama diwawancarai beberapa kali dalam kurun waktu tertentu dan juga cross sectional opinion poll, di mana secara acak sampel disurvai hanya satu kali kesempatan.
  2. Public relations audits. Seperti namanya, audit public relations merupakan studi menyeluruh untuk mengetahui posisi PR dalam perusahaan. Studi seperti ini digunakan untuk mengukur posisi perusahaan baik secara internal ( berdasar persepsi karyawan) dan eksternal (  berdasarkan opini konsumen, stakeholder, pemimpin komunitas dst). Pendeknya, seperti dirangkum  Simon (1986) yang dimaksud dengan audit PR adalah “a research tool used specifically to describe, measure, and asses an organization’s public relations activities and to provide guidelines for future public relations programming” . Tahap pertama audit PR adalah membuat daftar segmentasi mencakup kelompok internal dan eksternal dalam organisasi. Fase ini disebut juga tahap identifikasi stakeholders kunci di dalam organisasi. Di dalamnya mencakup para konsumen, pegawai, investor, para pembuat kebijakan dan masyarakat. Analisis terhadap stakeholder ini dilakukan dengan melakukan wawancara personal dengan managemen kunci di tiap departemen dan dengan menggunakan analisis isi terhadap media komunikasi eksternal. Tahap kedua, menentukan bagaimana organisasi dipersepsi  oleh masing-masing kelompok informan tadi melalui penyelenggarakan wawancara insentif dan atau diskusi kelompok terfokus.
  3. Communications audits. Audit komunikasi hampir sama dengan audit PR tapi namun sempit tujuannya; dan fokusnya lebih  pada media komunikasi internal dan eksternal yang digunakan oleh perusahaan dan bukan pada program PR keseluruhan. Kopec (n.d.) menyajikan panduan langkah-langkah dalam  menjalankan audit ini  baik untuk audit komunikasi internal dan eksternal. Untuk internal audit dia menyarankan langkah berikut:
  1. Melakukan wawancara dengan pimpinan managemen untuk menentukan problem komunikasi yang terjadi.
  2. Analisis isi  terhadap publikasi perusahaan  maupun saluran komunikasi yang lain dan diakukan secara sampling.
  3. Melaksanakan FGD dan wawancara mendalam dengan karyawan untuk mengetahui sikap mereka terhadap perusahaan.  Hasil dari FGD dan wawancara ini  nantinya akan dijadikan dasar  pembuatan kuesioner survai.
  4. Melaksanakan survai
  5. Melakukan analisis hasil  survai dan melaporkan kepada karyawan.

Untuk audit komunikasi eksternal mengikuti langkah-langkah di atas juga tetapi FGD, interview, dan survainya dilakukan di antara para audiens dan stakeholder serta kelompok eksternal lainnya. Ada dua teknik penelitian yang biasanya dilakukan melakukan audit di atas yakni readership surveys dan readability studies. Readership surveys didesain untuk  mengukur seberapa banyak orang yang benar-benar membaca publikasi  ( seperti newsletter perusahaan dan laporan tahunan) dan benar-benar mengingat  pesan yang ada dalam publikasi itu. Hasil penelitian ini untuk mengembangkan kualitas isi, penampilan, dan metode pendistribusian publikasi. Sparks (1997), misalnya, mengukur sikap karyawan dan yang sudah pensiun dari sejumlah besar audiens pengguna terhadap isi dari newsletter perusahaan. Ia menemukan beberapa bagian dari publikasi tersebut yang dirasa perlu untuk dikembangkan.  Sementara itu readability studies membantu perusahaan mengukur selera para karyawan terhadap publikasi yang mereka baca.

4.  Social audits. Audit jenis ini terkait dengan program  monitoring  lingkungan dalam skala kecil yang didesain untuk mengukur performa sosial organisasi – yakni sampai sejauh mana perusahaan mempertanggungjawabkan fungsinya di dalam masyarakat. Hasilnya menjadi umpan balik terhadap program sosial yang disponsori perusahaan seperti kesempatan kerja bagi kaum minoritas, kebersihan lingkungan dan keselamatan kerja. Sosial audits termasuk bidang riset yang masih baru dan ralatif bisa dikembangkan.

Tahap kedua : Planning public relations problems.  Setelah mengumpulkan informasi berdasarkan riset tahapan sebelumnya, langkah selanjutnya adalah menginterpretasikan hasil penelitian tersebut guna menentukan problem spesifik apa serta  peluang yang bagaimana yang bisa ditindaklanjuti menjadi program PR sistematis. Misalnya, hasil dari audit PR dapat digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan khusus dari masing-masing kelompok stakeholder dan menyusun tindakan nyata yang bisa dilakukan guna memenuhi kebutuhan tersebut.

Dalam tahap perencanaan ini bisa dilakukan dengan menggunakan riset kualitatif . Misalnya, State Farm Insurance mengadakan kampanye di mana perusahaan mencoba untuk mengidentifikasi 10  titik persilangan yang paling membahayakan di Amerika Serikat. Guna menentukan  nama kampanye  maka diadakan sejumlah diskusi terfokus (FGD) di mana dicari kata apakah yang bisa mewadahi kampanye tersebut.  Beberapa kata sifat didiskusikan,di antaranya “ deadly”, “scras-phone”, dan “hazardous” namun hampir partisipan FGD berpikir kata “dangerous” sebagai pilihan kata yang tepat. Akhirnya, State Farm melabeli kampanye dengan “ The Ten Most Dangerous Intersection” Sebagai tambahan, peneliti juga melakukan wawancara mendalam dengan  petugas setempat di mana di komunitas tersebut termasuk dalam lingkungan yang dekat dengan persimpangan berbahaya untuk mengetahui bagaimana reaksi mereka terhadap penamaan “ Ten Most Dangerous”.

Fase perecanaan ini juga melibatkan riset yang dimaksudkan untuk menentukan media apakah yang paling efektif sebagai sarana informasi program.  Data yang paling mendasar yang diperlukan itu adalah soal jangkauan, frekuensi dan karakteristik demografi audiens.

Tahap Ketiga : Implementing public relations program through actions and communications. Ada dua teknik monitoring yang  paling sering digunakan yakni gatekeeping research dan output analysis.

  1. Gatekeeping research. Tujuannya melakukan analisis terhadap karakteristik press release dan video news release yang memungkinkan mereka bisa menembus “pintu gerbang”(gatekeeper)  dan akhirnya bisa muncul di media massa. Baik isi maupun gaya penulisan menjadi variabel yang secara khusus harus diteliti.  Morton dan Warren (1992) misalnya, meneliti tipe dari karya publikasi (press release) yang lebih disukai oleh para gatekeeper media itu.  Mereka menemukan sebuah  surat kabar dengan oplah kecil lebih menyukai bentuk foto-foto rekaman situasi kota mereka. Walters, Walters and Star (1994) meneliti perbedaan antara gramatika dan sintakmatik dari  press release yang asli dengan yang dipublikasikan oleh media massa.  Mereka menemukan, bahwa editor biasanya menyingkat release dan menjadikannya lebih mudah dibaca masyarakat.
  2. Output analysis.  Lindenmann (1997) mendefinisikan output analysis sebagai” the short-term or immediate results of a particular public relations or activitiy”.  Analisis output ini mengukur seberapa baik organisasi telah hadir dan dipersepsi  publik dan melihat jumlah publikasi  dan perhatian  yang diterima oleh organisasi. Ada beberapa teknik yang bisa dilakukan, di antaranya dengan meneliti berapa jumlah keseluruhan berita ( story) atau artikel yang muncul di media massa.  Selain itu juga bisa dilakukan dengan menaksir penekanan yang ada di masing-masing publikasi tersebut.

Tahap keempat : Evaluating Research mengacu pada serangkaian penilaian efektivitas dari suatu perencanaan program, implementasi dan dampak program. Baskin, Aronof dan Lattimore (1997) menyarankan sebuah evaluasi harus juga mencakup kesemua tahapan dalam program PR. Secara detil mereka mengajukan tahapan berikut ini:

  1. Implementation checking. Tahap penelitian ini untuk mengetahui apakah target sasaran benar-benar sudah terjangkau oleh pesan yang dirancang PR.
  2. In-progress monitoring. Segera setalah penyelenggaraan kampanye program, peneliti mencari tahu apakah program tersebut sudah mencapai efek yang direncanakan. Apakah ada hasil-hasil yang belum diantisipasi atau jika hasilnya masih kurang maksimal bisa dimodifikasi atau revisi di kemudian hari.
  3. Outcome evaluation. Manakala kampanye telah berakhir maka hasil program perlu dievaluasi/dinilai. Temuan ini nantinya digunakan sebagai saran atau rekomendasi perubahan di masa mendatang.

Broom dan Dozier (1990) membandingkan antara riset evaluasi dengan eksperimen (di)lapangan. Menurut mereka, kampanye public relations tidak jauh beda dengan penerapan eksperiman, di mana target PR sama halnya dengan subjek dalam penelitian eksperimen.  Jika memungkinkan, peneliti PR mencoba untuk membuat semacam kelompok kontrol di mana kelompok ini diusahakan terisolir dari berbagai faktor lain dan hanya mendapat terpaan kampanye program. Peneliti kemudian melakukan pengukuran sebelum dan sesudah kelompok tersebut diberi terpaan kampanye dan mencari tahu perubahan signifikan yang muncul yang merupakan akibat dari penyelenggaraan kampanye.

Meski demikian, Broom dan Dozier tertarik untuk menaruh perhatian pada kenyataan bahwa kampanye PR muncul dalam sebuah setting yang dinamis seperti halnya dalam eksperimen lapangan di mana sulit sekali mengontrol variabel-variebl pengganggu. Alhasil,secara ilmiah mungkin sulit membuktikan sejauhmana efek terjadi benar-benar karena kampanye program PR. Meski demikian, dari sudut pandang managemen masih dirasa perlu untuk menyelenggarkan riset evaluasi yang sistematis karena dengan cara itulah data yang terbaik yang bisa dipakai untuk melihat efektivitas program.

Riset evaluasi memusatkan perhatian pada tiga level yakni pada tataran kognitif, afektif dan konatif. Tataran kognitif yang dilihat adalah sejauh mana audiens mendapat pengetahuan dari kampanye program PR; tataran afektif yang diukur adalah perubahan sikap, pendapat serta persepsi secara frekuentif; dan terakhir tataran konatif adalah perubahan perilaku, di sini peneliti bisa memperkirakan sejauh mana dampak kampanye itu telah terjadi.

Para peneliti PR sebaiknya menyadari beberapa kesalahan yang akan memengaruhi efek riset evaluasi. Baskin, Aronoff dan Lattimore (1997) memperingatkan hal-hal berikut:

  1. Kerancuan antara volume dengan hasil. Atau kerancuan antara output dengan outcome penelitian. Sejumlah besar kumpulan kliping pers bisa jadi memiliki makna dokumentatif, namun itu bukan kliping dokumen yang “telah menghasilkan” efek.
  2. Menggantikan estimasi dengan pengukuran. Para peneliti PR sebaiknya tidak mengganti pengukuran objektif dengan intuisi atau perkiraan. Perkiraan atau dugaan itu tidak mendapat tempat dalam riset evaluasi .
  3. Menggunakan sampel yang tidak representatif. Menganalisis hanya kepada responden yang secara sukarela atau sampel tak terduga bisa berujung pada kesalahan data yang fatal.
  4. Kerancuan antara sikap dengan perilaku. Tidaklah tepat bila menyamakan antara sikap yang setuju otomatis akan diikuti dengan perilakunya.

Referensi  :

Aldory.I & Toth,E.  2002. “Gendered discrepencies in profesion”. Journal of Public Relations Querterly, 47(1) hal 40-45.

Barkowitz .D., & Hristodoulakis,I . 1999. Practitioner roles, public relations education and profesional socializiation. Journal of Public Relation Research

Baskin,O.,Aronoff,C., & Lattimore,D. 1997. Public Relations” The Profesion and the practice. New York : Irwin/McGraw-Hill.

Broom,G.M. & Dozier D.M., 1990. Using research in public relations. Englewood Cliffs,NJ: Prentice Hall.

Kopec,J(n.d.) 2004. Tips and techniques: The communication audits. Dalam http://www.prsa.org/_resources/resources/commaudit.asp. diakses  3 juni 2013.

Lindenmann,W. K . 1997. Guidelines and standards for measuring  and evaluations PR effectiveness. Gainsville,FL: The Institute for Public Relations.

Moss, D. Warnaby,G. & Newman,A.2000. Public Practitioners role enactmen at the senior management kevel within UK companies. Journal of Public Relations Research 12(4), 227-308

Pavlik,J.D. 1987. Public Relations : What the research tells us. Beverly Hill,CA: Sage Publications.

Wiesendanger,W.2000. Transactional phylosophy as a basis for dialog in public relations. Journal od Public Relations Research hal 22-24

~ oleh Tri Nugroho Adi pada 4 Juni 2013.

Satu Tanggapan to “MEMETAKAN RISET DALAM PUBLIC RELATIONS”

  1. Reblogged this on rizky ari wibowo.

Tinggalkan komentar